Jumat 18 Sep 2020 04:59 WIB

Keutamaan Shalat Sendiri (Munfarid) dan Jamaah

Keutamaan Shalat Sendiri (Munfarid) dan Jamaah

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Keutamaan Shalat Sendiri (Munfarid) dan Jamaah
Keutamaan Shalat Sendiri (Munfarid) dan Jamaah

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Saya ingin bertanya tentang mana yang lebih utama antara shalat munfarid di awal waktu atau shalat berjama’ah di pertengahan hingga akhir waktu? Hal ini karena saat itu saya pergi ke musholla dan saya tidak menemukan seseorangpun untuk diajak shalat berjama’ah, maka dari itu saya memutuskan untuk shalat munfarid, namun tidak lama kemudian setelah saya selesai melaksanakan shalat, datang seseorang dan mengajak saya untuk melaksanakan shalat berjama’ah. Apakah perlu untuk saya mengulangi shalat lagi dan bagaimana hukum tentang hal itu? Mohon penjelasannya, terima kasih.

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Aditya Salam – PD IPM Palembang (disidangkan pada hari Jum’at, 17 Muharram 1437 H / 30 Oktober 2015)

Jawaban:

Wa ‘alaikumus-salam wr. wb.

Terima kasih atas pertanyaan saudara. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, bahwa shalat adalah ibadah yang telah ditentukan waktunya. Allah berfirman:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا  [النِّسَآءُ، 4: 103].

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. [QS. an-Nisa (4): 103]

Dalam hadis disebutkan:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الأَوْسَطِ وَوَقْتُ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ فَأَمْسِكْ عَنِ الصَّلاَةِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَىْ شَيْطَانٍ. [رَوَاهُ مُسْلِمٌ: 1419]

Dari Abdullah bin Amr (diriwayatkan), bahwa Rasulullah saw. bersabda: Waktu zhuhur itu ialah apabila matahari sudah tergelincir, dan (sampai) bayangan orang setinggi badannya selama belum masuk waktu ashar. Dan waktu ashar selama (cahaya) matahari belum kuning, dan waktu maghrib itu selama mega merah belum terbenam, dan waktu isya itu sampai pertengahan malam yang tengah, sedangkan waktu shubuh itu sejak dari terbitnya fajar selama matahari belum terbit. Jika matahari sudah terbit, maka berhentilah kamu dari shalat karena sesungguhnya (waktu itu) matahari terbit dari antara dua tanduk syetan. [HR. Muslim, no. 1419]

Berkaitan dengan keutamaan shalat di awal waktu, dijelaskan dalam hadis:

حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ الْوَلِيدُ بْنُ الْعَيْزَارِ، أَخْبَرَنِي قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَمْرٍو الشَّيْبَانِيَّ يَقُولُ، حَدَّثَنَا صَاحِبُ هَذِهِ الدَّارِ وَأَشَارَ إِلَى دَارِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ قَالَ الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيُّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيُّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ [رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ: 527].

Syu’bah telah berkata pada kami, al-Walid bin al-‘Aizar telah mengabarkan padaku, Aku mendengar Abu ‘Amrin asy-Syaibani berkata: Telah mengabarkan kepada kami pemilik rumah ini – dan ia berisyarat dengan tangannya ke rumah ‘Abdullah (bin Mas’ud): Aku pernah bertanya kepada Nabi saw. tentang amalan apa yang paling disukai oleh Allah, kemudian beliau menjawab: “Shalat pada waktunya.” Kemudian saya bertanya kembali: “Lalu  Rasululullah?” Kemudian beliau menjawab: “Berbakti kepada orangtua.” Kemudian saya bertanya lagi: “Lalu Rasul?” Beliau menjawab: “Jihad di jalan Allah.” [HR. al-Bukhari, no. 527]

Hadis di atas memang memiliki makna shalat pada waktunya, namun hadis lain menjelaskan maknanya adalah shalat pada awal waktunya:

عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ، قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ:الصَّلاةُ لأَوَّلِ وَقْتِهَا، وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ، وَالْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ [رواه الطَّبْرَانِي: 9686].

Dari Abdullah bin Mas’ud (diriwayatkan) ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Nabi saw. tentang amalan apa yang paling disukai oleh Allah, kemudian beliau menjawab: “Shalat tepat waktu, berbakti kepada kedua orang tua dan jihad di jalan Allah.” [HR. ath-Thabrani, no. 9686]

Al-Hakim an-Naisaburiy dalam bukunya al-Mustadrak jilid I menilai lafal ‘di awal waktu’ bahwa lafal ini shahih dengan kesepakatan dua orang tsiqah yaitu Bundar bin Basyar dan al-Hasan bin Mukram dalam periwayatan keduanya dari ‘Utsman bin ‘Umar. Di antara imam mutaqaddimin yang menshahihkan lafal ‘awal waktu’ adalah Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban rahimahumullah. Adapun ulama kontemporer yang menshahihkan lafal ‘awal waktu’ adalah asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah dalam kitab Silsilah adl-Dla’iifah juz IV.

Dengan demikian, yang dikatakan al-Hakim adalah benar, karena tambahan itu dibawakan oleh para perawi tsiqah termasuk ziyaadatuts-tsiqaat yang merupakan tambahan lafal riwayat jumhur. Lebih lagi, hadis tersebut sebagai taqyid atau penguat dari hadis ‘shalat pada waktunya’ yang telah disebutkan sebelumnya.

Nabi Muhammad saw juga memerintahkan umat Islam untuk menegakkan shalat dengan berjama’ah, seperti dalam hadis berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِب [رَوَاهُ مُسْلِمٌ: 1044].

Dari Abu Hurairah (diriwayatkan), ia bersabda: Seorang laki-laki buta datang kepada Nabi saw., dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki penuntun yang akan membawaku ke masjid.” Ia pun memohon keringanan kepada Rasulullah saw. agar diizinkan mengerjakan shalat di rumahnya. Nabi Muhammad saw. mengabulkan permintaannya. Ketika orang itu pergi, beliau memanggilnya dan bertanya: “Apakah kamu mendengar adzan?” Ia menjawab: “Ya” Lalu Nabi saw. bersabda: “Kalau begitu, sambutlah panggilan itu.” [HR. Muslim, no. 1044]

Hadis riwayat Muslim di atas muncul pada zaman Rasulullah saw. yang belum menjumpai teknologi pengeras suara. Jadi, bagi umat Islam yang mendengar adzan saat itu pastilah karena lokasinya yang sangat dekat dengan masjid. Namun saat ini umat Islam bisa mendengar adzan dari segala penjuru bahkan yang berasal dari kota yang jauh yaitu dari televisi dan lain-lain, maka bukan berarti umat Islam harus mendatangi semua masjid itu, tentu kita harus memilih tempat shalat mana yang paling dekat.

عَنْ جَابِرِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ الأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ. أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ غُلاَمٌ شَابٌّ فَلَمَّا صَلَّى إِذَا رَجُلاَنِ لَمْ يُصَلِّيَا فِى نَاحِيَةِ الْمَسْجِدِ فَدَعَا بِهِمَا فَجِىءَ بِهِمَا تُرْعَدُ فَرَائِصُهُمَا فَقَالَ مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَنَا. قَالاَ قَدْ صَلَّيْنَا فِى رِحَالِنَا. فَقَالَ لاَ تَفْعَلُوا إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فِى رَحْلِهِ ثُمَّ أَدْرَكَ الإِمَامَ وَلَمْ يُصَلِّ فَلْيُصَلِّ مَعَهُ فَإِنَّهَا لَهُ نَافِلَةٌ [رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ: 575 وَ صَحَّحَهُ إِبْنُ حِبَّانَ]

Dari Jabir bin Yazid bin Aswad dari ayahnya, (diriwayatkan) bahwa ia pernah shalat shubuh bersama Rasulullah saw ketika masih remaja. Ketika beliau selesai shalat, (ketahuan) ada dua orang yang tidak shalat di sudut masjid. Lalu beliau memerintahkan memanggil mereka, lalu dibawalah mereka dalam keadaan gemetar daging rusuknya. Rasulullah saw. bertanya: “Apa yang menghalangi kalian berdua turut shalat bersama kami?” Mereka menjawab: “Kami telah shalat di tempat kami.” Beliau bersabda: “Jangan kalian berbuat demikian. Apabila kamu telah shalat di tempat kamu, kemudian kamu bertemu imam yang belum shalat, maka hendaklah kamu shalat besertanya, karena yang demikian itu jadi (shalat) sunnah untuk kamu.” [HR. Abu Daud, no. 575, dishahihkan oleh Ibnu Hibban]

Rasulullah saw. bahkan tidak hanya menjelaskan tentang hukum shalat berjamaah, namun juga memaparkan banyak keutamaan yang akan didapat dari shalat berjamaah, seperti pada hadis berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً [رَوَاهُ مُسْلِمٌ: 1509].

Dari Ibnu ‘Umar (diriwayatkan) bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: “Shalat berjamaah lebih utama 27 derajat dibandingkan shalat sendirian.” [HR. Muslim, no. 1509]

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: صَلاَةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلاَتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا، وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لاَ يُخْرِجُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلاَّ رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلِ الْمَلاَئِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلاَّهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ، وَلاَ يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاَةَ [رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ: 647].

Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Shalat seorang laki-laki berjamaah melebihi shalat yang dikerjakan di rumah atau di pasar sebanyak dua puluh lima kali lipat. Hal ini disebabkan, ia wudhu dengan sempurna, lalu berangkat ke masjid hanya untuk shalat, maka setiap langkah kakinya akan menaikkan satu derajat dan menghapus satu kesalahan. Dan jika ia sudah mengerjakan shalat, maka para malaikat senantiasa berdoa untuknya selama ia masih berada di tempat shalat itu dan belum berhadas. Para malaikat itu berdoa: “Ya Allah, berkahilah dia. Ya Allah, rahmatilah dia”. Dan orang itu tetap mendapat pahala shalat selama ia menunggu shalat.” [HR. al-Bukhari, no. 647]

Dari penelusuran kami terhadap dalil al-Qur’an atau as-Sunnah yang menjelaskan tentang keutamaan shalat munfarid, kami tidak menemukan satupun yang menjelaskan tentangnya. Namun begitu, pemaparan hadis-hadis di atas sudah dapat menjelaskan bahwa shalat di awal waktu adalah sangat dianjurkan dalam Islam dan shalat jamaah adalah lebih utama dibandingkan shalat munfarid. Hal ini didukung oleh hadis-hadis yang menerangkan anjuran shalat berjamaah serta keutamaannya yang begitu banyak. Oleh sebab itu, dalam permasalahan yang saudara ajukan tentang lebih utama mana antara shalat munfarid di awal waktu atau shalat berjamaah di pertengahan sampai akhir waktu, ulama berbeda pendapat di dalamnya. Ada yang berpendapat bahwa shalat di awal waktu sendirian lebih utama dan ada pula yang berpendapat bahwa mengakhirkan waktu shalat demi mendapat jamaah adalah lebih baik. Namun, mengakhirkan waktu di sini tidak diperbolehkan hingga mendekati waktu shalat setelahnya kecuali dengan alasan syar’i yang dapat diterima, sebab hal ini termasuk melaksanakan shalat di luar waktu utamanya.

Berdasarkan keterangan di atas, kami berkesimpulan bahwa shalat jamaah di pertengahan waktu adalah shalat yang lebih utama dibandingkan dengan shalat munfarid di awal waktu, jika saat itu saudara yakin bahwa nantinya akan diselenggarakan shalat berjamaah. Namun jika saudara tidak yakin bahwa nanti akan diselenggarakan shalat berjamaah, maka shalat munfarid di awal waktu menjadi lebih utama. Adapun ternyata saudara menemukan shalat berjamaah setelah menunaikan shalat secara munfarid di awal waktu, maka saudara dapat mengikuti shalat jamaah tersebut dan terhitung sebagai amalan sunnah.

Wallahu a’lam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 10 Tahun 2016

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement