Selasa 10 Mar 2020 14:04 WIB
Sungai Nil

Dari Zaman Fir'aun dan Kisah Rebutan Air Sungai Nil

Kisah rebutan air Sungai Nil

Pantai Lokasi pertemuan Sungai Nil dan Laut Tengah(Aljazeera)
Foto: Aljazeera
Pantai Lokasi pertemuan Sungai Nil dan Laut Tengah(Aljazeera)

Bukan hanya pada masa Nabi Musa dan Fir’aun aliran sungai Nil menjadi rebutan. Dari abad ke adab, dari zaman ke zaman, air sungai ini menjadi hal yang sangat vital menyangkut hajat hidup orang banyak yang tinggal di negara itu. Sejak dahulu air sungai ini menjadi "nyawa" bagi negara yang dialirinya. Jadi, tak sepele atau sekadar sarana hiburan berperahu sembari menonton tari perut seperti yang kini terjadi di Kairo.

Pada masa kini seiring akan dibangunnya waduk raksasa yang bernama Renaissance, yang dibangun di Sungai Nil oleh Etiopia, hal tersebut telah memicu masalah besar bagi negara-negara yang ada di bagian wilayah Afrika Utara, bahkan kini makin meletupkan ketegangan. Tak hanya negara Etiopia dan Mesir yang dibuat ribut. Negara Sudan yang juga dilewati aliran sungai Nil ikut terperangkap dalam ketegangan itu.


Seperti dilansir dari Arab News, kisruh soal air Sungai Nil tersebut kini sudah memasuki serangkaian perkembangan baru. Hal ini terutama terkait penolakan Pemerintah Etiopia untuk mengambil bagian dalam pembicaraan 27-28 Februari di Washington, yang dimaksudkan untuk menghasilkan kesepakatan akhir dengan Mesir dan Sudan tentang pengisian dan pengoperasian bendungan Sungai Nil itu.


Menanggapi sikap Etiopia, Mesir pun telah meluncurkan diplomasi internasional yang serius untuk menopang posisinya sehubungan dengan hak air Sungai Nil. Apalagi, setelah pihak Etiopia dituduh membawa Mesir bahwa semua keputusan yang ada kini telah melewatkan putaran pembicaraan terakhir.

Akibatnya, orang Mesir marah. Pihak Amerika yang telah menyusun kesepakatan dengan masukan teknis dari Bank Dunia pun merasa kecewa.


Bagi Mesir, air Sungai Nil itu hal yang sangat serius. Negara ini mengandalkan Sungai Nil untuk memenuhi 90 persen pasokan airnya. Bahkan, Mesir pun berpendapat bahwa memiliki aliran air Sungai Nil yang stabil adalah masalah bertahan hidup di negara di mana air sesuatu yang langka.


           ****

Pada masa lalu, sebuah perjanjian pada tahun 1929 (dan yang berikutnya ditandatangani pada tahun 1959) memberi Mesir dan Sudan hak untuk hampir semua perairan Sungai Nil. Dokumen tersebut juga memberi Mesir hak veto atas proyek-proyek infrastruktur oleh negara-negara hulu yang akan mmengaruhi bagiannya dari sumber daya sungai.


Namun, hal ini berubah saat Etiopia meluncurkan konstruksi bendungan pada tahun 2011 di Sungai Nil Biru di dataran tinggi Etiopia utara. Wilayan ini sangat vital karena tempat ini merupakan asal di mana 85 persen aliran air Sungai Nil berasal.


Soal ini makin rumit karena salah satu kekhawatiran utama Mesir selanjutnya jika aliran air berkurang maka itu dapat memengaruhi debit air yang masuk ke Danau Nasser, yakni sebuah waduk yang berada lebih jauh ke hilir, di belakang Bendungan Aswan, Mesir.


Akibat kisruh itu, selama lebih dari empat tahun, perundingan tiga arah antara Mesir, Sudan, dan Etiopia mengenai pengoperasian bendungan dan mengisi waduknya sudah dilakukan. Namun, ini tidak menghasilkan kemajuan sampai AS mengambil peran sebagai mediator.


Menurut pernyataan Departemen Keuangan AS, rencana terbaru didasarkan pada tujuh tahun sebelumnya dari studi. Konsultasi teknis antara ketiga negara itu telah mampu memberikan penyelesaian semua masalah. Ini terutama soal yang beredar terkait dengan pengisian dan pengoperasian bendungan.


Pernyataan itu memang memberikan penghargaan untuk pihak Mesir, yang digambarkan mengandalkan negosiasi sebagai satu-satunya cara untuk menyelesaikan perselisihan dan bersiap untuk mengakui kepentingan Etiopia, asalkan Etiopia mengakui kepentingan vitalnya.

Aturan itu menyatakan: "Kami juga mencatat kekhawatiran populasi hilir di Sudan dan Mesir karena pekerjaan yang belum selesai pada operasi yang aman, dan kebutuhan untuk menerapkan semua tindakan keselamatan bendungan yang diperlukan sesuai dengan standar internasional sebelum pengisian dimulai.’’ 


Bagi Mesir, posisi aturan ini penting, yakni untuk memastikan bahwa struktur bendungan yang akan dibuat Etiopoa itu—yang merupakan pembangkit listrik tenaga air terbesar di Afrika--tidak menyebabkan bahaya yang signifikan bagi negara-negara hilir Sungai Nil. Namun, soal ini tidak lolos dalam pengujian akhir dan pengisian bendungan pun tidak terjadi tanpa kesepakatan.


Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement