Jumat 13 Mar 2020 21:47 WIB

Penanganan Wabah Penyakit Menurut Ilmuwan Muslim Klasik (4)

Wabah penyakit diketahui sudah muncul sejak dulu.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Muhammad Hafil
Penanganan Wabah Penyakit Menurut Ilmuwan Muslim Klasik . FOto: Cautery dalam dunia kedokteran Islam (ilustrasi).(muslimheritage.com)
Foto: muslimheritage.com
Penanganan Wabah Penyakit Menurut Ilmuwan Muslim Klasik . FOto: Cautery dalam dunia kedokteran Islam (ilustrasi).(muslimheritage.com)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesaksian Ibnu Battuta Syamsuddin Abdullah Muhammad bin Abdullah al- Lawati ath-Thanjiy bin Bathutha atau Ibnu Battuta (1304-1369) juga menulis tentang wabah. Berbeda dengan kalangan ilmuwan kedokteran, ia cenderung mencatatkan kesannya mengenai persebaran wabah di daerah-daerah yang didatanginya. Dalam catatan perjalanannya, Rihlah, ia menuturkan kejadian yang dialami nya di Halab (Aleppo), Suriah.

Waktu itu, Juni tahun 1348, ia sedang mengikuti pertemuan dengan para ulama setempat. Tiba-tiba, datanglah seseorang yang mengabarkan, suatu wabah penyakit menyeruak dari arah Mesir dan kini tiba di Gaza. Ross E Dunn dalam the Adventures of Ibn Battuta: A Muslim Traveler of the 14th Century (2012) menjelaskan perihal ini. Begitu Ibnu Battuta mendengar keterangan dari musafir tersebut, ia justru memutuskan untuk kembali ke selatan.

Baca Juga

Baru sampai di Kota Homs, ia menyadari persebaran wabah sudah merebak di mana-mana. Ia mencatat, tak kurang dari 300 orang warga setempat meninggal dunia akibat penyakit pes. Ibnu Battuta pun meneruskan langkah kakinya ke Damaskus. Di sana, ia mendapati jumlah korban jiwa sudah mencapai dua ribu jiwa per hari. Kota itu pun lumpuh. Aktivitas sehari-hari menjadi terhenti sama sekali. Dalam suatu bagian dari Rihlah-nya, Ibnu Battuta menuturkan kesaksian yang cukup memilukan.

Orang-orang di sini berpuasa tiga hari berturut-turut. Akhir hari puasa itu adalah Kamis. Pada akhir ma sa puasa itu, seluruh amir, syarif, qadi, dan dokter ser ta seluruh elemen masyarakat berkumpul di Masjid Raya (Damaskus). Begitu masjid itu penuh orang, sepanjang Kamis malam itu mereka menghabiskan waktu dengan mengaji dan berdoa bersama. Keesokan harinya, setelah shalat subuh berjamaah  mereka semua keluar dari masjid.

Setiap orang memegang mushaf Alquran bahkan amir (kepala negara) keluar dengan telanjang kaki. Semua penduduk itu melakukan eksodus semua: laki-perempuan, anak-anak hingga dewasa. Orang Yahudi ikut dengan membawa kitab sucinya masingmasing; orang Kristen juga dengan Alkitabnya; ibu menggandeng anak-anaknya; semua orang larut dalam tangisan; semua memohon belas kasihan Tuhan melalui kitab suci dan nabi masing-masing.

Waktu itu, orang-orang tak memahami penyebab wabah tersebut. Mereka hanya bisa pasrah kepada Yang Maha Kuasa. Uniknya, Dunn meneruskan, Ibnu Battuta dapat melewati perjalanan dari Damaskus itu dengan kon disi sehat walafiat. Padahal, gempuran wabah menge pungnya di mana-mana. Ia melanjutkan lang kahnya hingga tiba di Makkah pada 22 Sya'ban 749 atau 16 November 1348. Di sana, ia melakukan umrah, lalu menunggu hingga musim haji tiba.

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement