Senin 16 Mar 2020 16:27 WIB

Bolehkah Ulama Masa Kini Hukumi Lemah atau Palsu Hadis Nabi?

Menghukumi hadis lemah atau palsu bagi ulama masa kini tak mudah.

Menghukumi hadis lemah atau palsu bagi ulama masa kini tak mudah. Rasulullah SAW (ilustrasi)(republika)
Foto: republika
Menghukumi hadis lemah atau palsu bagi ulama masa kini tak mudah. Rasulullah SAW (ilustrasi)(republika)

REPUBLIKA.CO.ID, Bolehkah ulama masa kini ikut andil dalam menghukumi hadis? Bukankah ragam derajat hadis telah ditetapkan ahli hadis pada era klasik?

Pertanyaan ini muncul bukan tanpa sebab. Belakangan, sejumlah cendekiawan masa kini tampil menghukumi hadis dengan ragam kualitasnya, mulai dari sahih, hasan, lemah (daif), atau palsu (maudhu') sekalipun. 

Baca Juga

Tak jarang, sepak terjang para cendekiawan tersebut cenderung menyalah-nyalahkan kesimpulan para ulama hadis terdahulu. 

Ada setidaknya lima syarat sebuah hadis dinyatakan sahih, yakni kesempurnaan jejaring periwayatan (sanad), kualitas spiritual atau moralitas perawi ('adalah), kecermatan perawi (dhabth), dan sterilnya hadis dari dua kekuarngan, yakni syadz (berselisih dengan riwayat lain) atau 'illat, yakni cacat baik yang terdapat dalam sanad, perawi, ataupun redaksi (matan) hadis. 

Para ulama sepakat bahwa ulama masa kini tidak boleh menghukumi lemah hadis-hadis yang telah diriwayatkan ulama sebelumnya.  

Ini, kata Ibnu Hajar al-Asqalani, karena bisa jadi ada kemungkinan keberadaan jalur jejaring periwayatan lain yang menguatkan atau bahkan akurat validitasnya. Bila sang perawi menemukan adanya keterputusan jejarang itu, cukuplah dia menyimpulkan bahwa jejaring tersebut tidak sempurna melalui jalur yang dia temukan.

Bukan lemah secara keseluruhan, termasuk redaksionalnya (matan). Sebab, bisa jadi hadis dengan riwayat lain yang menopangnya. Karena itu, hendaknya ulama masa kini tidak gegabah melemahkan suatu hadis.

Demikian pula dengan vonis palsu atas hadis tertentu. Imam as-Suyuthi menegaskan, bila ulama sepakat larangan memvonis lemah suatu hadis oleh ulama masa kini, apalagi menyimpulkannya dengan palsu.

Bagaimanapun, kemungkinan adanya jalur periwayatan lain yang menguatkan sangat terbuka. Kecuali, jika memang tanda-tanda ataupun kriteria hadis palsu sudah tampak jelas, ketidaksinkronan redaksi hadis, semisal, hadis-hadis yang dipalsukan para pendongeng ataupun kontradiktif dengan akal dan konsensus ulama.     

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement