Selasa 17 Mar 2020 15:31 WIB

Esensi Mampu Berhaji yang Belum Sama, Ini Penjelasannya

Keterbatasan fisik bukan menjadi patokan ketidakbolehan dalam menjalankan ibadah haji

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Fakhruddin
Jamaah haji Indonesia menghabiskan waktu untuk beribadah di Masjidil Haram.(Republika/ Amin Madani)
Foto: Republika/ Amin Madani
Jamaah haji Indonesia menghabiskan waktu untuk beribadah di Masjidil Haram.(Republika/ Amin Madani)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang dikerjakan oleh Muslim yang mampu. Muslim yang tidak mampu secara ekonomi dan fisik tidak diwajibkan mengerjakan ibadah haji. 

Firman Arifandi dalam bukunya "Perihal Penting Haji yang Sering Ditanyakan" mengungkapkan, konotasi mampu seringkali menjadi polemik panjang, yakni sampai sejauh mana kita boleh memaknai mampu dalam ibadah haji ini. 

 

"Ada yang berpatokan kepada kemampuan finansial saja, ada 

yang berpatokan kepada kemampuan fisik, bahkan ada yang menyarankan kalau masih mampu berhutang dan melunasi hutangnya maka berhajilah," katanya.

 

Lalu bagaimana dengan fakta di Tanah Air, di mana  orang yang terjadwal untuk berangkat haji sudah masuk usia 70 tahun ke atas? Kita yakin mungkin 

secara finansial mereka telah lunas bayar, akan tetapi secara fisik mereka tau kapasitasnya secara umum.

 

"Karena sejatinya ibadah haji itu sarat dengan porsir tenaga," katanya.

 

Firman mengatakan, firman Allah dalam Alquran Surah Ali Imran Ayat 97. "Mengerjakan haji memang merupakan kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. 

 

Dari ayat ini kata Firman, para ulama memberikan sejumlah keterangan tentang maksud “Istitha’ah” atau 

mampu dalam ibadah haji. Patokan utama adalah keterangan klasik para ulama dari hadist, di mana Rasulullah ditanya tentang apa yang mewajibkan 

haji, maka rasul menjawab “az zaadu war rahilah”, yakni perbekalan dan kendaraan. 

 

Kemudian hal itu dianalogikanlah esensi dari mampu bekal dan kendaraan ini kepada mampu dalam finansial, keamanan perjalanan, hingga pada status kesehatan dan kekuatan fisik.

Dalam praktek kekinian, keterbatasan fisik dalam menjalankan ibadah haji bukan menjadi patokan ketidak bolehan seseorang berangkat haji. 

 

Karena faktanya kata dia, di tanah air pemerintah tetap memberangkatkan mereka yang sudah berusia uzur untuk berangkat ke tanah suci. Pertimbangannya adalah sepanjang mereka telah lunas bayar, sudah 

masuk kuotanya, masa antrinya telah habis, dan tidak mengidap sakit yang terlalu serius, maka boleh berangkat. 

 

"Urusan kemampuan melakukan ritualnya itu nomor dua, karena masih bisa didorong dengan kursi roda untuk thawaf dan sa’inya, bahkan untuk 

jumrohnya bisa dibadalkan oleh orang lain," katanya.

 

Lalu terkait kemampuan finansial, kata Firman memang tidak ada ketentuan harus dari uang sendiri baru sah berhaji. Bahkan dari kalangan Hanafiyah mewajibkan ibadah haji itu harus disegeraka. Mereka mengatakan, jika tidak berhaji hingga habis hartanya, maka dipersilahkan berhutang lalu berhaji, meskipun tidak mampu mengembalikannya segera mungkin.

 

Bahkan kata dia ada kaidah yang mengatakan bahwa setiap ibadah di mana harta dianggap sebagai 

penentunya, maka yang dianggap adalah kepemilikannya bukan bagaimana kemampuan memilikinya. Jadi menurut kaidah ini kalau seseorang memiliki harta baik dari berhutang, hadiah, numpang dll, maka ibadahnya 

tetap dianggap.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement