Selasa 17 Mar 2020 17:06 WIB

Pelanggaran Haji dan Konsekuensinya yang Harus Diketahui

Maka harus berhati-hati jika yang berangkat adalah pasangan suami istri.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Fakhruddin
Suasana lengang di Masjidil Haram pascapenghentian umrah oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi di Makkah.(Amr Nabil/AP Photo)
Foto: Amr Nabil/AP Photo
Suasana lengang di Masjidil Haram pascapenghentian umrah oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi di Makkah.(Amr Nabil/AP Photo)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Dalam menjalankan ibadah haji jamaah harus mengetahui rukun dan wajib haji. Hal itu penting untuk mengetahui mana-mana saja perbuatan yang membuat hajinya batal atau tidak sehingga harus membayar dam.

Firman Arifandi dalam bukunya. "Perihal Penting Haji yang Sering Ditanyakan" mengungkapkan, bahwa penyakit yang biasa dilakukan oleh para pembimbing jamaah, tour leader, bahkan petugas haji adalah menakut-nakuti jamaah yang melanggar dengan mengatakan bahwa hajinya batal, atau harus bayar dam. 

 

"Hal ini entah hanya untuk memotivasi 

jamaah agar tidak melanggar atau memang tidak tau, sehingga semuanya dipukul rata," katanya.

 

Firman memastikan, jamaah yang berdebat, bertengkar, dan berkata kotor  ketika menjalamkan rukun haji, sebenarnya tidak sampai pada kategori batal hajinya, atau harus bayar dam dengan sembelihan kambing di tanah haram tanpa opsi lain.  "Karena agama kita tidak sekejam itu tentunya," katanya.

 

Untuk itu jamaah penting mengetahui rukun dan wajib haji. Menurut Firman ada enam jenis pelanggaran dan 

hukumannya. Pertama melanggar aturan ihram.

 

Firman mengatakan, ada sejumlah rambu-rambu dalam ihram yang harus dipatuhi yaitu seperti dilarang mencukur rambut, memotong kuku, memakai harum-haruman, mencumbu istri dengan syahwat, memakai pakain berjahit yang membentuk lekuk tubuh bagi laki-laki, memakai sarung tangan, 

menutup rambut kepala, dan memakai niqob bagi wanita.

 

Bentuk fidyah dari setiap pelanggaran ini adalah memilih salah satu dari tiga hal:

a. Menyembelih satu ekor kambing

b. Memberi makan kepada enam orang miskin.

c. Berpuasa selama tiga hari.

 

Kedua Meninggalkan Wajib Haji.

 

Jika ada jamaah yang meninggalkan wajib haji seperti melempar jumroh, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina, thowaf Wada’, atau bahkan berihram dari miqot, maka mereka dianggap melanggar wajib haji. 

 

Bentuk fidyah dari meninggalkan wajib haji adalah kewajiban dam, yaitu menyembelih satu ekor kambing. 

Jika tidak mampu beli kambing, maka berpuasa sebanyak sepuluh hari, yaitu tiga hari saat di Tanah Suci dan tujuh hari saat kembali ke Indonesia. Jika berpuasa saat haji tidak mampu, maka boleh berpuasa dengan tujuh hari tadi di Indonesia saja.

 

Ketiga Berburu Hewan.

 

Kalau seandainya terjadi, misalnya ada jamaah yang iseng ketika di mina berburu kambing liar, atau ayam, atau sapi. Bentuk fidyah-nya adalah memilih 

salah satu dari tiga hal:

a. Menyembelih hewan yang semisal, lalu 

memberi makan kepada orang miskin di 

tanah haram.

b. Membeli makanan (dengan harga semisal hewan tadi), lalu memberi makan setiap orang miskin dengan setengah sho (2 mud, sekitar 1,5 kg).

c) Berpuasa, yakni konversi setiap satu makanan yang diberikan kepada orang miskin senilai satu hari puasa. 

 

"Misal kewajiban memberi makan dari hewan sembelihan tadi disalurkan pada 10 orang miskin, maka berarti puasanya selama 10 hari, boleh di tanah haram dan boleh di Indonesia," katanya.

 

Keempat Damm Tamattu’ dan Qiran.

 

Jamaah Haji Indonesia menggunakan sistem haji jenis tamattu’. Haji Tamattu’ itu adalah berangkat ke Tanah Suci di dalam bulan haji, lalu berihram dari 

miqat dengan niat melakukan ibadah umroh, bukan haji, lalu sesampai di Makkah, menyelesaikan ihram 

dan berdiam di kota Makkah bersenang-senang, sambil menunggu datangnya hari Arafah untuk kemudian melakukan ritual haji.

 

Jadi Haji Tamattu’ itu memisahkan antara ritual umrah dan ritual haji. Sementara Qiran adalah manakala dia melakukan ibadah haji dan umrah digabung dalam satu niat dan gerakan secara bersamaan, sejak mulai dari berihram. Sehingga ketika memulai dari miqat dan berniat untuk berihram,niatnya adalah niat berhaji dan sekaligus juga niat berumrah.

 

Dalilnya: 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Kami berangkat bersama Nabi SAW pada tahun hajji wada' (perpisahan). Di antara kami ada yang berihram untuk 'umrah, ada yang berihram untuk hajji dan 'umrah dan ada pula yang berihram untuk hajji. Sedangkan Rasulullah SAW berihram untuk hajji. Adapun orang yang berihram untuk hajji atau menggabungkan hajji dan umrah maka 

mereka tidak bertahallul sampai hari nahar (tanggal 10 Dzul Hijjah)". (HR.Bukhari).

 

Damm untuk keduanya adalah menyembelih sapi atau unta atau kambing. Bila tidak mampu maka 

puasa sepuluh hari, yakni tiga hari di tanah haram dan tujuh hari di Indonesia. Atau 10 hari di Indonesia sekaligus jika menyulitkan di Makah.

 

Kelima Jima Saat Ihram.

 

Jika ada jamaah sebelum bertahalul sudah berjima dengan istrinya, maka hajinya tidak dianggap sah, tapi tetap harus menyelesaikan semua rukunnya. Bagi mereka juga wajib dam yakni seekor kambing atau puasa 10 hari. Tiga hari di Mekah dan tujuh hari di Indonesia. 

 

"Maka harus berhati-hati jika yang berangkat adalah pasangan suami istri," 

 

Keenam Berkata Kotor, Bertengkar, Berdebat.

 

Jika ada di antara jamaah yang mungkin 

keceplosan misuh atau berkata kotor maka sebaiknya diigatkan saja. Tapi jika hal tersebut dilakukan dengan sengaja, seperti bertengkar atau debat, maka sebenarnya ibadah haji atau umrohnya masih tetap sah, hanya saja diyakini hilang pahala berhajinya, namun tidak disarankan membayar dam apapun.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement