Rabu 18 Mar 2020 11:02 WIB

Corona dan Hikmah Tersembunyi Kebijakan Belajar di Rumah

Ini kesempatan untuk membangun komunikasi keluarga dan menciptakan kreativitas.

Pakar pendidikan, Zulfikri Anas (berdiri) pada disksusi bulanan yang diadakan Indonesia Emas Institute, akhir pekan lalu.
Foto: Dok Indonesia Emas Institute
Pakar pendidikan, Zulfikri Anas (berdiri) pada disksusi bulanan yang diadakan Indonesia Emas Institute, akhir pekan lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, SERANG -- Kasus merebaknya virus Covid-19 memunculkan kekhawatiran bagi rakyat Indonesia khsususnya, maupun dunia pada umumnya. Semua berharap, semoga wabah ini segera berlalu.

Namun, terlepas dari itu,  upaya memutus rantai penularan dengan meliburkan seluruh satuan pendidikan, menjadi sebuah hikmah tersembunyi di balik persoalan, blessing in disguise.  Hal ini menjadi sebuah kesempatan berharga bagi dunia pendidikan. 

Terkait hal tersebut, Indonesia Emas Institute menjadikan upaya belajar di rumah sebagai upaya mencegah merebaknya virus Covid-19 (penyebab penyakit Corona) sebagai tema diskusi bulanan Maret 2020. Diskusi tersebut diadakan di kampung belajar Bina Putra, Serang, Banten, akhir pekan lalu.  Hadir dalam diskusi tersebut para pengurus Indonesia Emas Institute, anara lain Achmad Supriyatna, Zulfikri Anas, Afrizal Sinaro, dan Wawan.

“Kejadian ini membuat seluruh anak berada rumah bersama keluarganya. Inilah kesempatan bagi anak, juga orang tua, untuk berinteraksi intensif satu sama lain. Termasuk kesempatan anak untuk belajar di rumah dengan bimbingan orang tua,” kata Zulfikri Anas seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id. 

Afrizal Sinaro mengemukakan, pada situasi sekarang di mana anak berkumpul dengan keluarga di rumah, banyak aktivitas belajar yang dapat dilakukan dalam menghadapi kehidupan nyata, untuk memecahkan berbagai persoalan di rumah.

“Di sinilah kesempatan untuk membangun komunikasi dalam keluarga, menciptakan kreativitas dan kolaborasi bersama-sama,  katakanlah melawan virus Corona, serta berpikir secara kritis untuk bersama-sama menghindari berita hoaks dan disinformasi. Ini belajar yang sesungguhnya,” papar Afrizal Sinaro yang juga ketua umum Yayasan Perguruan Al-Iman Citayam, Bogor, Jawa Barat.

Dengan demikian, kata Afrizal, Kemendikbud semestinya membangun ruang kemerdekaan belajar untuk "belajar di rumah" dengan aktivitas nyata di rumah, yang kemudian diangkat ke pencapaian kompetensi di sekolah. Toh, sekarang kurikulumnya berbasis kompetensi, bukan berbasis konten materi.  

Anak dapat ditugasi membuat jurnal harian kegiatan di rumah yang produktif. Outputnya bisa menjadi sebuah naskah ceritera, foto, video, bahan presentasi, aneka produk, atau apa yang saja merupakan hasil dari kegiatan project base di keluarga selama dua pekan.

“Dari proyek tesebut,  kita yakin anak terasah untuk melatih penguasaan kompetensi yang disyaratkan. Silahkan periksa kompetensi dasar pada masing-masing mata pelajaran,” tuturnya. 

Menurut Zulfikri Anas, Kemendikbud perlu memberikan guidance semacam ini sebagai sebuah kesempatan berharga di mana pembelajaran itu kuncinya ada pada siswa, bukan pada guru, apalagi pada sekolah. “Bukankah di era digital, ruang kelas secara fisik memang bukan lagi prasyarat utama terlaksananya pendidikan yang efektif? Dengan demikian, guru pun tertantang untuk melakukan inovasi mengaitkan pembelajran di kelas dan di rumah,” papar pakar pendidikan itu.

Ia menambahkan, jika memantau informasi yang bersumber dari Kemendikbud dan juga Dinas Pendidikan di berbagai daerah, makna anak belajar di rumah itu diarahkan dengan memanfaatkan berbagai aplikasi dan konten pembelajaran online, baik yang disediakan pemerintah maupun swasta. “Berarti, yang disebut belajar di rumah itu anak memanfaatkan konten online sebagai sumber belajar.  Dalih yang muncul supaya sesuai kurikulum dan anak terbiasa menggunakan pembelajaran daring,” ujarnya.

“Kenyataan ini sebenarnya memberi tanda bahwa cara pandang kita tentang kurikulum itu tidak berubah.  Hanya sumber belajarnya saja yang berubah. Jika dulu sumber utama adalah guru, kini sumber utamanya adalah konten di dunia maya,” kata Zulfikri menambahkan.

Ia menambahkan, sementara basisnya tetap saja belajar tentang pengetahuan yang disediakan pemerintah.  “Anak dituntut memahami pengetahuan-pengetahuan tertentu, atau teori-teori ilmu pengetahuan yang ditemukan di masa lalu. Padahal anak di masa kini membutuhkan praktek penerapan ilmu untuk menghadapi persoalan di masa depan,” ujarnya.

Sementara itu, Achmad Supriyatna mengatakan, dalam setiap pelatihan bagi para guru selalu digembar-gemborkan yang namanya belajar aktif, berpusat pada siswa, pembelajaran sesuai konteks, mengikuti perkembangan zaman, menyiapkan anak hidup di zamannya, dan terakhir merdeka belajar.

“Jadi sebenarnya apa makna jargon-jargon perubahan itu, jika fokus kita tetap pada pengetahuan? Sementara itu kita tahu persoalan anak di masa depan sangat volatile, uncertain, complex, dan ambigu.  Untuk menghadapi itu anak perlu pengalaman, bukan hanya pengetahuan,” tuturnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement