Jumat 20 Mar 2020 16:26 WIB

Tak Hanya Corona, Penderita Penyakit Ini Dilarang ke Masjid

Melarang para penderita penyakit tersebut pergi ke masjid merupakan suatu kewajiban.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Fakhruddin
Ilustrasi Cegah Covid-19 di Masjid Istiqlal(Republika/Thoudy Badai)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ilustrasi Cegah Covid-19 di Masjid Istiqlal(Republika/Thoudy Badai)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Orang-orang yang sudah mengetahui bahwa dirinya positif mengidap virus Corona, dilarang baginya untuk menghadiri shalat Jumat di masjid. Namun, tidak hanya orang yang terjangkit Corona, penderita penyakit lepra dan kusta juga dilarang pergi ke masjid. 

Hal ini tertuang dalam pandangan keagamaan tentang pelaksanaan shalat Jumat di daerah terjangkit Covid-19 yang diputuskan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU pada Kamis (19/3). 

"Dalam kasus ini, pengidap virus Corona juga bisa dianalogikan dengan penyandang judzam (lepra)dan barash (kusta) yang dilarang mengikuti shalat Jum’at," ujar Ketua LBM PBNU, KH M Nadjib Hassan dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Jumat (20/3). 

Menurut dia, para penderita penyakit tersebut juga harus diisolasi dari manusia lain. Hal ini didasarkan pada pendapat para ulama berikut: “Al-Qadli ‘Iyadl telah menukil pendapat dari para ulama yang menyatakan bahwa orang yang terkena penyakit lepra dan kusta dilarang ke masjid, shalat jumat, dan berbaur dengan orang lain”. (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib Syarhu Raudl ath-Thalib, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1422 H/2000 M, juz, I, h. 215).

Selain itu, para ulama dalam forum Bahtsul Masail PBNU juga menyatakan bahwa melarang para penderita penyakit tersebut untuk pergi ke masjid merupakan suatu kewajiban. Hal ini sebagaimana pendapat para ulama sebagai berikut: “Sesungguhnya sebab larangan (seperti larangan mendatangi masjid, shalat jumat dan berbaur dengan orang lain,) yang diberlakukan seperti kepada orang yang terkena penyakit lepra karena dikhawatirkan membawa mudharat kepada orang lain. Oleh karena itu melarangnya adalah wajib”. (Ibnu Hajar al-Haitsami, al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubra, Bairut-Dar al-Fikr, juz, I, h. 212).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement