Kamis 02 Apr 2020 12:45 WIB

Kertas, Utang Bangsa Arab kepada Cina

Kehadiran kertas membantu mereka memperoleh material lebih efisien

Red: A.Syalaby
Isamu Sakamoto peneliti dari Tokyo Restoration Conversation Centre meneliti naskah kuno berbahan kertas Daluang di Museum Sribaduga Bandung, Jawa Barat, Selasa (24/1).
Foto: Antara/Agus Bebeng
Isamu Sakamoto peneliti dari Tokyo Restoration Conversation Centre meneliti naskah kuno berbahan kertas Daluang di Museum Sribaduga Bandung, Jawa Barat, Selasa (24/1).

REPUBLIKA.CO.ID, Kontak antara bangsa Arab dan Cina yang berlangsung selama abad ke-delapan membawa perubahan besar dalam tradisi penulisan naskah di dunia Islam. Masyarakat Arab yang sebelumnya terbiasa menulis di atas lembaran kulit binatang atau kulit kayu, mulai mengadopsi budaya Cina, yaitu menuliskan teks-teks di atas kertas.

Pertempuran Talas yang melibatkan Kekhalifahan Abbasiyah dan Dinasti Tang pada 751 menyebabkan tertawannya sejumlah orang Cina oleh tentara Arab. Penulis asal Persia dari abad kesepuluh, al-Tha'alibi, mengisahkan, di antara tawanan perang Cina yang ditangkap itu ada yang dibawa ke Samarkand. Di kota itu, mereka lalu bekerja sebagai perajin dan memproduksi kertas dalam skala besar.

"Produksi kertas pada waktu itu bahkan sampai menjadi komoditas ekspor yang penting bagi masyarakat Samarkand. Nilainya secara universal diakui dan digunakan oleh banyak orang di mana-mana," ungkap al-Tha'alibi, seperti dikutip Lindsey Hobbs dalam karya tulisnya, The Islamic Codex.

Pada saat yang bersamaan, para sarjana Muslim di Abbasiyah tengah memfokuskan perhatian mereka terhadap studi naskah-naskah kuno. Kehadiran kertas di tengah-tengah peradaban Arab pada akhirnya membantu mereka memperoleh material yang lebih efisien untuk digunakan sebagai media penyalinan naskah tersebut.

Namun demikian, ada kendala lain yang harus mereka hadapi ketika beralih menggunakan kertas. Bahan organik tersebut sewaktu-waktu bisa saja memburuk kondisinya karena berbagai faktor. Oleh karena itu, naskah yang telah ditulis di atas lembaran-lembaran kertas kemudian dijilid dan diberi sampul yang tebal supaya tahan terhadap berbagai risiko kerusakan.

Contoh naskah Islam dari masa lampau yang dijilid itu masih dapat dijumpai hari ini. Beberapa di antaranya adalah penemuan 175 manuskrip di dalam gudang Masjid Agung Kairouan, Tunisia, pada dekade 1940-an silam. Naskah-naskah tersebut diperkirakan ditulis antara abad kesembilan dan ke-13.

Penemuan besar lainnya terdapat di Masjid Agung Yaman di Kota Sana'a pada awal dasawarsa 1970-an. Ribuan fragmen perkamen dan jilid naskah yang ditemukan di belakang dinding loteng masjid itu diperkirakan berasal dari abad ketujuh dan ke-12. "Teks-teks tersebut sebagian besar mengalami kerusakan parah, tetapi menampilkan beberapa model penjilidan yang unik dalam tradisi Islam," tulis Hobbs.

Ada ribuan naskah kuno Islam yang ditemukan sepanjang abad ke-20. Sebagian besar di antaranya kini disimpan di sejumlah perpustakaan atau museum di luar negeri. Antara lain, Perpustakaan Nasional Abu Dhabi di Uni Emirat Arab, Aga Khan Program in Islamic Architecture di AS, Universitas al-Azhar di Mesir, Universitas Oxford di Inggris, dan masih banyak lagi.

Beberapa upaya serius mulai dilakukan kalangan ahli filologi untuk menggali kandungan yang terdapat dalam manuskrip-manuskrip kuno Islam. Salah satunya bisa dilihat dari kerja sama yang dibentuk oleh The Islamic Manuscript Association dengan sejumlah lembaga lainnya, seperti Thesaurus Islamicus Foundation, Perpustakaan Universitas Cambridge, dan the Prince Alwaleed bin Talal Centre of Islamic Studies dalam beberapa tahun terakhir. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement