Jumat 10 Apr 2020 08:15 WIB

Benarkah Diam Adalah Emas?

Diam adalah emas memerlukan kepekaan tentang alasan dan waktu yang tepat.

Benarkah Diam Adalah Emas? (Ilustrasi)
Foto: needpix
Benarkah Diam Adalah Emas? (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Semua orang pasti bisa diam. Namun, diam dengan alasan dan dalam waktu yang tepat--memerlukan kepekaan.

Momen kecerdasan dan kedewasaan mental seseorang akan teruji manakala ia tahu hakikat diam dan berbicara. Rasulullah SAW mengingatkan, "Di antara tanda kecerdasan seseorang adalah sedikit berbicara dalam perkara yang tidak berguna baginya."

Baca Juga

Ahli hikmah Abul Qasim Al Qusyairi mengatakan, diam pada saat yang tepat merupakan karakteristik orang-orang besar. Begitu pula, berbicara mereka pada saat yang tepat adalah contoh tabiat mulia.

Diam pun bisa berubah menjadi sesuatu yang buruk bila dilakukan pada saat tidak tepat dan tidak mendasarkannya pada ilmu. Diamnya seorang pemimpin ketika mengetahui penderitaan rakyatnya termasuk keburukan. Diamnya orang saat kejahatan terjadi di depannya juga tak dapat dibenarkan.

Abu Ali Al-Daqqaq mengungkapkan, orang yang tidak mau mengatakan yang benar adalah "setan yang bisu." Na'udzubillah.

Bagaimana caranya agar kita bisa diam secara tepat atau berbicara secara tepat?

Imam Syafi'i memberikan jalan keluar. "Apabila seseorang akan bicara, maka ia harus berpikir terlebih dulu. Apabila telah jelas bahwa ucapannya tidak akan memudharatkan, maka berbicaralah. Dan apabila telah jelas bahwa ucapannya akan membawa kemudharatan, atau dia ragu tentang bahaya tidaknya, maka diamlah."

Jadi, berbicara atau diamnya kita harus disandarkan pada aspek kemanfaatan dan kemudharatan. Bila itu bernilai baik, bicaralah. Bila bernilai buruk, maka diam lebih utama. Di sinilah kualitas keimanan seorang Muslim akan terlihat.

Sebab di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak berguna. Rasul bersabda, "Di antara (ciri) sempurnanya keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya." (HR Tirmidzi). Wallaahu a'lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement