Senin 13 Apr 2020 11:25 WIB

Masa Depan Industri Keuangan Islam

Teknologi diharapkan dorong tumbuhnya investor muda dalam industri keuangan Islam.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Ani Nursalikah
Masa Depan Industri Keuangan Islam.
Foto: AP Photo/Amr Nabil
Masa Depan Industri Keuangan Islam.

REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Keuangan Islam (perpaduan hukum syariah dan perbankan modern) telah menjadi bisnis yang bernilai dua triliun dolar AS selama dua dekade terakhir. Keuangan Islam itu mencakup apa pun dari mulai obligasi hingga pembelian mobil.

Namun, dengan standar yang rumit yang ditetapkan oleh sejumlah lembaga Islam, Muslim kembali mempertanyakan apakah investasi atau membeli saham itu halal atau tidak?

Baca Juga

Di jejaring Twitter, salah seorang calon investor Muslim muda bertanya, apakah membeli saham di Tesla, pelopor mobil listrik Amerika itu halal. Menurut aplikasi seluler Zoya, Tesla dianggap 96 persen patuh pada syariah.

Aplikasi ini menyaring saham yang terdaftar di Amerika Serikat (AS) berdasarkan kriteria yang dikeluarkan oleh Organisasi Akuntansi dan Audit untuk Lembaga Keuangan Islam, salah satu dari beberapa badan yang menetapkan standar keuangan Islam.

Dana Islam dilarang untuk berinvestasi di perusahaan yang terkait dengan tembakau, alkohol, babi atau judi. Bunga produktif juga dilarang karena dikategorikan sebagai riba.

Wahed Invest yang berbasis di AS, sebuah platform halal daring, menggunakan kriteria itu untuk membantu puluhan ribu orang berinvestasi secara etis. Para bankir Islam berharap, platform modern akan membuka industri ini bagi investor muda. Dengan demikian, kepercayaan etis akan terbukti menjadi daya tarik lain.

Ahli strategi ekspansi global di Wahed Invest, Mehdi Benslimane, mengatakan pedoman dalam ajaran agama diringkas menjadi dua kondisi.

"Sebuah bisnis harus memiliki dampak ekonomi nyata, bukan hanya spekulatif. Dan itu harus memiliki kontribusi positif bagi dunia," kata Benslimane, dilansir di Business Times, Senin (13/4).

Lembaga pemeringkat Standard & Poor's menunjukkan industri keuangan Islam dalam waktu relatif singkat tumbuh menjadi senilai 2,1 triliun dolar AS. Dalam proyeksi yang dibuat sebelum wabah virus corona, lembaga itu memperkirakan sektor keuangan Islam ini akan terus berkembang perlahan pada 2020.

"Teknologi keuangan atau fintech dapat membantu industri keuangan Islam tumbuh dengan memfasilitasi transaksi yang lebih mudah dan lebih cepat," kata lembaga pemeringkat itu dalam Islamic Finance Outlook Edisi 2020.

Namun demikian, kehancuran ekonomi akibat merebaknya wabah virus corona telah memicu kekhawatiran runtuhnya sektor keuangan Islam. Menurut laporan media Emirati, Bank Islam Dubai telah menunda rencana penerbitan obligasi yang kompatibel dengan syariah.

Akan tetapi, keuangan Islam memiliki penggemar yang jauh melampaui dunia Muslim. Sebab, keuangan Islam mendasarkan pada konsep untung dan rugi bersama sehingga meminimalkan risiko bagi bank.

Sebagai contoh, Islamic Development Bank yang berbasis di Jeddah pada November lalu menandatangani perjanjian dengan dana pensiun raksasa Jepang untuk mendukung pengembangan produk-produk yang sesuai syariah yang berkelanjutan. Yayasan Responsible Finance & Investment (RFI), sebuah lembaga pemikir, telah membicarakan kemampuan mereka untuk merespons kecelakaan terakhir, karena fakta mereka berlabuh dalam ekonomi riil.

Hal ini juga menunjukkan keuntungan dari investasi dalam industri seperti peralatan medis pelindung dapat disumbangkan ke badan amal, dan membantu mengatasi krisis virus corona tanpa melanggar larangan Islam tentang pembayaran bunga. Tetapi, sifat sektor ini yang bergerak lambat kini mungkin menggoyahkan kemampuannya merespons krisis. CEO Wethaq Capital, sebuah perusahaan fintech yang berbasis di Dubai, Mohammed al-Sehli mengatakan penekanannya adalah pada menumbuhkan pasar daripada membuatnya lebih efisien.

"Sektor ini harus lebih fokus pada inovasi setelah menderita kurangnya inovasi, standarisasi dan otomatisasi proses", katanya.

Wakil Presiden Eksekutif FinTech Hive Dubai, Raja al-Mazrouei, mengatakan perusahaan itu menghubungkan perusahaan baru dengan Pusat Pengembangan Ekonomi Islam Dubai, cendekiawan Syariah, bank Islam, dan regulator keuangan. Ia mengatakan, menargetkan negara-negara seperti Malaysia, Indonesia dan Arab Saudi berarti harus dapat menawarkan solusi sesuai syariah. Namun, ia mengatakan perusahaan fintech Islam menghadapi serangkaian kendala yang tidak mengganggu rekan-rekan tradisional mereka.

"Tantangan utama adalah memastikan seluruh rantai pasokan, peraturannya, benar-benar diuji dan diverifikasi oleh para cendekiawan syariah," kata Mazrouei, mantan ilmuwan komputer dan lulusan Harvard.

Pendiri Jibrel.com, Talal Tabbaa, menggambarkan sebuah industri di mana budaya dapat bertabrakan. Jibrel.com menghubungkan investor dengan perusahaan baru, dan mereka sendiri menggunakan teknologi blockchain.

"Pendekatan beberapa cendekiawan Muslim yang menyetujui produk keuangan itu bukan teknologi, itu sangat manual, dan menurut pendapat saya, subjektif," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement