Selasa 14 Apr 2020 16:05 WIB

Saat Kolonial Remehkan Wabah

Pemerintah diminta berkaca dari kesalahan kolonial menangani wabah pes di Malang.

Perbatasan Malang dijaga militer kolonial saat mewabahnya pes pada 1910-1911.
Foto: Th de Voegel/Koleksi Syefry Luwis
Perbatasan Malang dijaga militer kolonial saat mewabahnya pes pada 1910-1911.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Wilda Fizriyani, wartawan Republika berbasis di Malang, Jawa Timur.

Jumlah kasus Covid-19 terus meningkat dari hari ke hari. Kasus yang semula hanya menjangkiti dua orang Maret lalu kini telah menginfeksi 4.839 orang per 14 April 2020. Angka ini diprediksi akan meningkat dalam beberapa hari mendatang.

Berbicara tentang wabah, Indonesia sebenarnya bukan pertama kali mengalaminya. Jauh sebelum virus corona atau Covid-19 tiba di Indonesia, masyarakat pada masa kolonial Belanda telah terlebih dahulu merasakannya. Dua wabah tersebut adalah pes dan influenza. Menengok catatan sejarah, banyak hal yang mirip dari zaman itu dengan pandemi yang saat ini melanda; mulai dari sikap meremehkan terhadap wabah, kekurangan infrastruktur kesehatan, ketidakakuratan pencatatan korban, tarik-ulur karantina wilayah, hingga benturan kepentingan ekonomi melawan upaya menjaga kesehatan masyarakat.

Sejarawan Syefri Lewis mengungkapkan, wabah pes sebenarnya pertama kali dilaporkan terjadi di Indonesia (dahulu Hindia Belanda) pada 1905. Dua kuli dilaporkan terjangkit penyakit ini di Pelabuhan Bandar Deli, Sumatra Utara (Sumut).

"Masalahnya adalah pemerintah kolonial tidak peduli dengan urusan tersebut karena korban cuma dua orang, hanya kuli jadi dianggap angin lalu saja. Padahal, ada beberapa saran bahwa ini bisa saja kejadian di Hindia Belanda," kata Syefri pada kegiatan diskusi dalam jaringan (daring).

Enam tahun berselang, laporan wabah pes muncul kembali di Indonesia. Kali ini hal tersebut dilaporkan terjadi di Malang, Jawa Timur (Jatim). Wabah ini diprediksi tiba di Malang karena faktor beras impor dari Myanmar. Negeri Seribu Pagoda ini pada masa itu tengah mengalami wabah pes. 

photo
Petugas kolonial memberikan pengobatan terkait mewabahnya pes di Myanmar pada 1906. - (pinterest)

Pemerintah kolonial Belanda terpaksa mengimpor beras karena mengalami gagal panen beberapa kali. Ditambah lagi, masyarakat membutuhkan makanan setiap harinya. Oleh sebab itu, impor beras dari Myanmar pun menjadi solusi. 

Beras Myanmar pertama kali masuk Indonesia sekitar akhir 1910. Beras ini masuk melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, lalu dikirim ke Malang. "Masalahnya, antara Malang dan Wlingi terjadi banjir. Jalur terputus dan beras yang diangkut itu ada kutu tikusnya. Lalu, tikus yang memiliki pes bisa menyebar ke masyarakat," kata tim penulis buku Pandemi Influenza di Hindia Belanda 1918 ini.

Temuan wabah pes di Malang tidak serta-merta membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda percaya begitu saja. Mereka selalu membantah karena meyakini jenis tikus Myanmar berbeda dengan lokal. Pada kenyataannya, tikus Myanmar mampu beradaptasi dengan lokal sehingga pes pun bisa menyebar.

Lalu, mengapa pes lebih dahulu menyebar di Malang dibandingkan Surabaya? Menurut Syefri, Malang pada masa lampau memiliki suhu begitu dingin. Suhu udara pada malam hari dapat mencapai 14 sampai 16 derajat Celsius.

Suhu udara yang sangat dingin menyebabkan kutu-kutu tikus lebih kuat dan mudah menyebar. Ditambah lagi, tikus yang terinfeksi pada beras yang tersimpan di wilayah Dampit, Malang, melakukan perjalanan ke permukiman warga. Meski tikus mati dalam perjalanannya, kutu tetap hidup, lalu mencari inang baru yang sehat. "Dan tikus masuk yang ke rumah warga itu tikus rumahan. Dari sini, wabah pes menyebar di Malang dan menyebabkan banyak kematian," ucap Syefri.

Penyangkalan yang terus dilakukan pemerintah kolonial Belanda telah menimbulkan masalah fatal. Pes baru diakui keberadaannya di Indonesia pada 27 Maret 1911. Padahal, kasus ini sudah mulai memasuki Malang pada akhir 1910.

Dari waktu yang begitu singkat, pemerintah kolonial Belanda melaporkan 2.000 kasus pes. Jumlah ini agak diragukan karena media justru mengungkapkan pes telah memakan korban 300 orang per hari. "Jadi, ini ada upaya pemerintah untuk mereduksi jumlah korban," kata dia.

Pada 1913, laporan kasus pes melonjak menjadi 11 ribu korban, kemudian bertambah sekitar 15 ribu orang di tahun berikutnya. Jumlah korban mengalami penurunan pada 1915 sekitar 1.638 orang. "Kenapa akhirnya wabah pes bisa turun? Coba bayangkan wabah sudah empat tahun, di 1915 baru dibentuk dinas khusus, yaitu Dinas Pemberantasan Pes," ucapnya.

Direktur Burgelijke Geneeskundige Dienst (BGD), De Vogel, kata Syefri, sebenarnya sempat memerintahkan karantina Kota Malang sekitar 1911 hingga 1912. Namun, kebijakan isolasi ini mendapatkan protes dari perusahan perkebunan pada tahun 1912. "Mengapa protes? Karena kuli-kuli yang dari Malang enggak boleh keluar dari Malang. Banyak masyarakat yang tidak bisa kerja," katanya.

photo
Kawasan Kajoetangan, Kota Malang di masa lalu. - (Dok. KITLV)

Pemerintah kolonial Belanda memiliki aturan tegas dalam kebijakan isolasi diri. Mereka membangun pos-pos penjagaan ketat di setiap ujung kota. Para penjaga melalui tentara tidak segan menembak mati penerobos pos penjagaan.

Selama isolasi, Syefri mengatakan, pemerintah sebenarnya telah menyediakan gaji untuk warga. Namun, gaji tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, kebijakan isolasi diri tidak berjalan signifikan sehingga jumlah korban pes terus berjatuhan.

Selain itu, ketersediaan dokter juga menjadi penyebab meningkatnya jumlah korban pes di Hindia Belanda. Saat itu, dokter Eropa takut karena teringat dengan peristiwa Black Death alias wabah bubonik yang menewaskan jutaan warga Eropa pada abad ke-13. "Sedangkan, mengapa dokter bumiputra berani? Karena mereka enggak punya ingatan wabah pes di Hindia Belanda," kata Syefri.

Secara ekonomi, dampak ekonomi wabah pes tidak terlalu besar dibandingkan influenza. Pasalnya, wabah Pes lebih berpusat di Malang. Sementara itu, pandemi influenza hampir terjadi di seluruh daerah termasuk area pelosok seperti Fakfak yang saat ini masuk wilayah Papua Barat. 

Pandemi inluenza

Syefri menjelaskan, pandemi influenza kemudian tiba di Hindia Belanda pada Juli 1918. Dalam waktu singkat, penyakit ini sudah bisa menyebar ke seantero Pulau Jawa. Selang setahun, influenza sudah mencapai wilayah bagian timur.

photo
Para prajurit Amerika Serikat dirawat di rumah sakit darurat di Camp Fuston, Kansas, sehubungan mewabahnya Flu Spanyol pada 1918. - (wikipedia.org)

Serupa dengan wabah pes, keberadaan influenza juga sempat dibantah oleh pemerintah. Mereka ragu influenza akan tiba di Hindia Belanda. Padahal, pada awal 1918, konsultat jenderal (konjen) Belanda di Hong Kong dan Singapura sudah mengingatkan pandemi tersebut.

"Mereka (pemerintah kolonial Hindia Belanda--red) menilai influenza enggak mungkin masuk Indonesia, tapi ternyata Juli masuk langsung banyak meninggal dunia," kata Syefri.

Setelah mengetahui keberadaan pandemi, pemerintah mulai membagikan masker pada November 1919. Hal ini penting dilakukan karena influenza telah menyebabkan 1,5 juta jiwa meninggal dunia. Namun, berdasarkan data suatu lembaga pada 2013, jumlah korban dapat mencapai 4,3 juta. 

Lalu, mengapa influenza bisa menyebar di seluruh Hindia Belanda? Syefri menerangkan, dokter De Vogel sempat berencana mengarantina Hindia Belanda. Namun, rencana tersebut diprotes oleh sejumlah pihak. Salah satunya lembaga pelayaran Hindia Belanda yang merasa dirugikan karena sering membawa penumpang dan barang. Padahal, kapal-kapal laut tersebut bisa membawa penyakit ke daerah pelosok. 

BGD juga pernah mencoba membuat aturan agar tidak ada perkumpulan lebih dari lima orang. Namun, rencana tersebut dikritik karena dinilai dapat meresahkan masyarakat. Rencana tersebut pun dibatalkan sehingga influenza memakan korban 1,5 juta jiwa.

Masalah kurangnya dokter juga menjadi penyebab meningkatnya jumlah korban influenza. Perbandingannya, satu dokter setidaknya harus mengobati 15 ribu pasien. Lebih parahnya lagi, dokter Belanda hanya mau melayani pasien Eropa dan warga bumiputra serta Cina yang kaya.

Di sisi lain, Syefri tak menampik pemerintah telah melakukan sosialisasi bahaya pandemi influenza. Mereka menggunakan buku berbahasa Sansekerta, Hanacaraka, dan Melayu pada 1920. Namun, sosialisasi ini tidak berdampak signifikan kepada masyarakat yang sebagian besar tidak bisa membaca.

Keberadaan penyakit di Hindia Belanda tidak didiamkan begitu saja oleh beberapa pihak. Ada beberapa yang memanfaatkan kondisi tersebut untuk kepentingan diri sendiri. Mereka menggunakan wabah pes maupun pandemi influenza untuk memunculkan opini di masyarakat. "Wabah-wabah ini banyak dipergunakan oleh masyarakat Indonesia di tahun pergerakan. Wabah digunakan sebagai cara untuk melawan pemerintah kolonial," katanya.

Yang juga mirip dengan saat ini, seperti halnya pemerintah mengkhususkan Pulau Galang di Kepulauan Riau dan Pulau Sebaru di Kepulauan Seribu sebagai pusat karantina. Saat itu pemerintah kolonial memilih Pulau Onrust di Kepulauan Seribu.

Wartawan senior Republika, Alwi Shahab, menuturkan, saat itu pemerintah kolonial menyangka wabah di Malang ada kaitannya dengan jamaah haji yang pulang dari Makkah. Jadilah jamaah haji tersebut dikarantina lebih dahulu di Pulau Onrust sebelum boleh pulang ke kampung halaman.

Selama karantina, mereka harus tinggal di pulau ini selama lima hari. Bahkan, kadang-kadang waktunya lebih lama lagi, bergantung pada kesehatan jamaah bersangkutan.

Pembangunan karantina Onrust menelan biaya 607 ribu gulden, yaitu sebanyak 35 barak yang dapat menampung 3.500 jamaah haji. Begitu rampung dibangun pada 1911, Onrust langsung digunakan saat itu pula. Pulau tempat pertama kali VOC mendarat sebelum menaklukkan Jakarta pada abad ke-17 ini selama 29 tahun (sampai 1940) berubah fungsi menjadi karantina haji.

Kini di pulau tersebut masih dijumpai sisa-sisa barak yang sudah porak-poranda. Yang masih berdiri kokoh hanya sebuah rumah yang dahulu digunakan untuk para dokter karantina haji.

Berdasarkan sejarah tersebut, Syefri menilai, Indonesia saat ini sebenarnya sudah seharusnya belajar dari masa lalu. Sikap Pemerintah Indonesia tak jauh berbeda dengan yang dilakukan Hindia Belanda. Mereka sama-sama lamban dalam mengatasi wabah termasuk Covid-19.

"Kalau kita lihat pemerintah kita dalam beberapa bulan terakhir bilang Covid-19 enggak bisa masuk ke Indonesia dan ternyata wabah itu ada. Saya jujur kecewa, cuman sekarang kita harus bisa menanggulangi bersama-sama," ucap pria lulusan Universitas Indonesia (UI) tersebut. n

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement