Kamis 23 Apr 2020 04:30 WIB
Ilmu

Iman Dan Ilmu Dalam Kepemimpinan

Solal Iman Dan Ilmu Dalam Kepemimpinan

Iman dan ilmu seperti fajar dalam kepemimpina. (ilustrasi).
Foto: Google.com
Iman dan ilmu seperti fajar dalam kepemimpina. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Sobirin Malian, Dosen Universitas Ahmad Dahlan

Membicarakan iman dan ilmu berarti mengulang kajian yang sudah sangat sering dilakukan orang. Tapi begitulah, perkara iman dan ilmu itu perkara penting yang memang senantiasa harus kita kaji terus tidak boleh bosan, mengingat dinamika persoalannya yang tidak akan habis dibahas.

Dalam Qur’an seperti juga selalu dikutip para kyai, ustadz, mubaligh kita:..”Allah mengangkat mereka yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi karunia ilmu pengetahuan ke berbagai tingkat (derajat)” (QS.al-Mujadalah/58:11).

Firman Allah SWT itu menegaskan, bahwa janji keunggulan, superioritas dan supremasi diberikan Allah kepada mereka yang beriman dan berilmu sekaligus. Iman akan mendorong kita untuk berbuat baik guna mendapat ridha Allah, dan ilmu akan melengkapi kita dengan kemampuan menemukan cara yang paling efektif dan efisien dalam pelaksanaan dorongan untuk berbuat baik itu.

Dengan kata lain, iman mendidik kita untuk mempunyai komitmen kepada nilai-nilai luhur, nilai kemalaikatan -- istilah ulama Majid Fakhry. Singkatnya, iman dan ilmu secara bersama akan membuat kita menjadi orang baik dan sekaligus tahu cara yang tepat mewujudkan kebaikan kita itu. Dari sini, dapat dimengerti mengapa iman dan ilmu merupakan jaminan keunggulan dan superioritas.

Secara hirarkis nilai, iman adalah primer__yang utama, dan ilmu adalah sekunder__pelengkap. Secara praktis kita sering atau banyak menemukan kasus dalam mengurus negara, para pejabat “ndableg” kalau dikritik, bahkan mereka seperti tidak peduli walau diingatkan berkali-kali. Celakanya mereka ini berkuasa...ya tetap suka-suka mereka. Kasus seperti ini bisa dinarasikan: “Lebih baik seorang yang jujur meskipun dia bodoh daripada seorang jahat meskipun berilmu.” Atau, “Lebih baik seorang yang bodoh tapi jujur daripada seorang pandai tapi jahat.”

Mengapa, sebab kepandaian ditangan orang jahat akan menunjang kejahatannya itu sehingga berlipat-ganda dan semakin rusaklah semuanya, seperti terbukti kejahatan yang banyak kita temukan di negara ini, termasuk pelemahan KPK, tetap melanjutkan proyek pindah ibukota di tengah masifnya Covid 19, dan lain-lain.

Yang harus dipahami, jika masalahnya ialah kesuksesan, kebaikan yang maksimal, kerja keras, maka sesungguhnya iman dan ilmu itu tidak dapat dipisahkan. Kekalahan kelompok  atau orang yang jahat jelas bukan karena faktor iman orang atau kelompok yang baik itu, tetapi karena faktor ilmunya yang kurang.

Salah satu wujud praktis peran ilmu ialah, misalnya, kemampuan berorganisasi dan menyusun segala sesuatunya dengan berbagai pertimbangan. Oleh karena itu, masih sangat terang  dalam ingatan kita motto yang berbunyi,”al-bathil bi-nidham yaghlib al-haqq bi-ghayr nidham”...kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebenaran yang tidak terorganisir.” Sesuatu yang sangat logis dan masuk akal.

Dari sinilah, kadang kita menyaksikan ialah jika seseorang memiliki iman namun tidak berilmu secukupnya, maka akan sangat mungkin dia akan melaksanakan suatu itikad baik secara kurang tepat...bahkan tidak jarang terjadi...melaksanakannya sedemikian rupa sehingga hasilnya justru diluar prediksi karena kontraproduktif (kekonyolan) dengan yang dia kehendaki dan berlawanan dengan itikad baiknya sendiri.

Contohnya, melepaskan para napi dalam jumlah banyak sekaligius dalam waktu bersamaan dengan alasan Movid 19. Bisa jadi itu adalah  niat baik, tapi secara ilmu; melepaskan napi tanpa pertimbangan matang justru berakibat kekonyolan. Begitu para napi itu keluar penjara, mereka langsung mengulangi perbuatannya, bahkan berbuat lebih kejam dari sebelumnya. Begitulah kalau, ilmunya dan kebijakan serta kebajikannya kurang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement