Senin 11 May 2020 20:49 WIB

Keberatan dengan RUU Cipta Kerja, Sapuhi Surati Presiden

Aturan ini tolak karena dianggap menyulitkan PPIU yang berada di daerah.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Fakhruddin
Sarikat Penyelenggara Umrah dan Haji Indonesia (Sapuhi) menggelar sosialisasi update perizinan secara online Kementerian Agama. Sosialisasi ini diikuti oleh travel umrah anggota  Sapuhi dan travel umrah di luar anggota Sapuhi. Selasa (10/3).
Foto: Republika/Ali Yusuf
Sarikat Penyelenggara Umrah dan Haji Indonesia (Sapuhi) menggelar sosialisasi update perizinan secara online Kementerian Agama. Sosialisasi ini diikuti oleh travel umrah anggota  Sapuhi dan travel umrah di luar anggota Sapuhi. Selasa (10/3).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sarikat Penyelenggara Umrah dan Haji Indonesia (Sapuhi ) menyurati Presiden Joko Widodo, Senin (11/5) pagi. Surat tersebut dikirim sebagai bentuk penolakan atas pasal-pasal tambahan di Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja.

"Iya memang kami telah menyurati keberatan kepada Presiden RI dengan mengirimkan surat. Surat sudah kami ajukan pagi tadi, dengan lampiran ke Komisi VIII, dan Menteri Agama," kata Ketua Umum Sapuhi Syam Resfiadi, saat diminta tanggapannya terkait pasal baru di RUU Cipta Kerja, Senin (11/5).

Syam Resfiadi mengatakan penolakan Sapuhi sebagai asosiasi yang mewakili anggota pemilik Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) itu, karena RUU Cipta Kerja dinilai telah membebani PPIU sebagai pengusaha yang membantu pemerintah mengurangi pengangguran.

"Kami menolak RUU Cipta Kerja khususnya pasal 89 hingga pasal 92 yang dianggap memberatkan PPIU sebagai penyelanggara ibadah umrah," katanya.

Syam mengatakan, penyelenggara ibadah umrah dan Sapuhi merasa pasal 89 yang berbunyi "Untuk mendapatkan Perizinan Berusaha menjadi PPIU, biro perjalanan wisata harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat" dinilai sangat memberatkan pengusaha karena harus izin kepada pemerintah pusat.

"Aturan ini dirasakan memberatkan kami yang harus mendapatkan izin berusaha dari pemerintah pusat padahal sebelumnya izin tersebut hanya dari Kementrian Agama, Kementrian Pariwisata, dan kantor Kementrian Agama wilayah serta Dinas Pariwisata di daerah," katanya.

Lebih lanjut Syam Resfiadi menambahkan, tidak hanya di pasal 89, Sapuhi juga menyampaikan keberatan dengan Pasal 90 ayat 1 yang berbunyi "Pelaksanaan Ibadah Umrah dilakukan oleh PPIU setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan pasal 91 ayat 2 yang berbunyi Pembukaan kantor cabang PPIU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Pemerintah Pusat".

"Aturan ini juga kami tolak karena dianggap menyulitkan PPIU yang berada di daerah harus mengurus perizinan dari pemerintah pusat," katanya.

Untuk itu kata dia, Sapuhi sebagai asosiasi dengan ratusan anggota pemilik PPIU, meminta pemerintah dan DPR untuk membatalkan pasal 89 hingga 92 RUU Cipta Kerja. Karena hal tersebut dapat menggangu kesehatan perusahaan terutama sumber daya manusia (SDM) di kantor cabang yang ada di daerah-daerah.

"Untuk itu kami minta Presiden Joko Widodo mau mendengarkan masukkan dari penyelenggara ibadah umrah sebagai operator atau pelaksana ibadah umrah," katanya.

Syam Resfiadi mengungkapkan  aturan yang mengatur tentang ibadah umrah sebenarnya sudah cukup dengan  Undang-Undang No. 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umar tahun 2019. Karena UU No 8 tahun 2019 tersebut telah mengakomodir PPIU dan PIHK sebagai penyelenggara umrah dan haji khusus. 

''Perubahan dalam RUU Omnibus Law kami keberatan apa yang sudah ada di UU No.8 sudah sesuai dengan keingingan kami selaku operator PPIU dan PIHK, karena dalam UU no.8 dinyatakan jelas bahwa syarat menjadi PPIU adalah WNI dan Muslim," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement