Senin 11 May 2020 23:04 WIB

Sahkah Menikah dengan Wali Beda Agama?

Bagaimana fikih memandang wali yang beda agama menikahkan putrinya yang Muslimah?

(Ilustrasi) Menikah
Foto: Republika/mgrol101
(Ilustrasi) Menikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jodoh, siapa yang tahu? Itulah perkataan "klasik" di tengah masyarakat. Biasanya, calon pasangan yang seagama tak lantas memunculkan persoalan. Akan tetapi, berbagai pertanyaan dapat timbul bila calon berlainan agama.

Sebagai contoh kasus. Seorang bapak yang non-Muslim hendak menikahkan anaknya yang Muslim. Bagaimana keabsahannya menurut fikih?

Baca Juga

Mengutip Tanya Jawab Fikih bersama Prof Quraish Shihab, dijelaskan sebagai berikut.

Pertama-tama, ijab dan kabul pernikahan memang tidak harus disertai dengan kalimat tauhid, semisal syahadat. Dalam konteks ijab dan kabul, seorang wali berkata, 'Kukawinkan engkau dengan putriku'. Adapun calon suami akan menjawabnya, 'Kuterima perkawinannya.' Demikianlah, ijab dan kabul telah memenuhi ketentuan fikih.

 

Benar pula, ada baiknya bila ijab dan kabul itu didahului kalimat-kalimat yang menunjukkan kesucian pernikahan. Misalnya, khutbah nikah atau anjuran untuk beristighfar serta membaca dua kalimat syahadat. Akan tetapi, hal itu bukanlah syarat sahnya ijab dan kabul.

Kedua, soal status wali. Menurut Quraish Shihab, seorang bapak yang non-Muslim tidak boleh menikahkan putrinya yang Muslimah. Sebab, lanjut dia, dalam pandangan ulama-ulama, tidak sah perwalian seorang yang berbeda agama dengan perempuan yang dinikahkannya.

Oleh karena itu, tidak sah perwalian seorang kafir atas wanita Muslimah. Tidak sah pula perwalian seorang Muslim atas perempuan kafir.

Nah, jika wali keadaannya seperti itu, maka hak perwalian berpindah kepada peringkat berikutnya. Peringkat perwalian menurut mazhab Syafi' adalah: (1) bapak, (2) kakek [ayah bapak], (3) ayahnya ayah bapak, (4) saudara sekandung, (5) dan seterusnya.

Yang jelas, jika wali dengan segala peraturan yang ditetapkan itu tidak ada atau bahkan tidak memenuhi syarat, maka penguasa (kantor urusan agama/KUA) yang menikahkannya.

sumber : Tanya jawab fikih Koran Republika bersama Quraish Shihab.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement