Kamis 14 May 2020 19:00 WIB

Alasan Mengapa Ada Air Bekas Bersuci dalam Madzhab Syafii

Para ulama Madzhab Syafii menjelaskan keberadaan air bekas dalam bersuci.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Nashih Nashrullah
Para ulama Madzhab Syafii menjelaskan keberadaan air bekas dalam bersuci. Wudhu (ilustrasi)
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Para ulama Madzhab Syafii menjelaskan keberadaan air bekas dalam bersuci. Wudhu (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Dalam fiqih Islam terutama Madzhab Syafii, terdapat sejumlah klafisikasi air yang digunakan untuk bersuci. 

Di antara kategori itu adalah air musta’mal atau air bekas bersuci. Ustadz Galih Maulana Lc, dalam bukunya "Hukum-hukum Terkait Air Dalam Madzab Syafi’i" menjelaskan, air musta’mal adalah air yang jatuh dari badan setelah pemakaian untuk bersuci yang sifatnya wajib.  

Baca Juga

"Misalnya seseorang berwudhu untuk sholat, ketika berwudhu, air dari anggota badan yang dibasuh itu jatuh menetes, tetesan itulah yang disebut air musta’mal," katanya.  

Al Mawardi (w 450 H) dalam kitabnya al-Hawi menjelaskan, air musta’mal bekas menghilangkan hadats adalah air yang sudah terpisah dari anggota badan seorang yang punya hadats ketika dia berwudhu, atau (air) yang terpisah dari badan orang yang junub ketika dia mandi (junub).  

Air musta’mal ini hukumnya suci namun tidak mensucikan. Imam Nawawi (w 676 H) mengatakan, "Air musta’mal statusnya adalah suci tanpa khilaf tetapi tidak menyucikan dalam pandangan madzhab."

Ustadz Galih mengatakan, dalil yang menunjukan air musta’mal itu suci adalah hadits sahih riwayat imam Muslim berikut. "Dari Jabir bin Abdillah, beliau berkata: Rasulullah dan Abu Bakar berjalan kaki menjengukku di Bani Salimah. Rasulullah melihatku tidak sadar, kemudian meminta (kepada orang lain) mengambil air, kemudian beliau berwudhu, kemudian memercikan air (bekas wudhu) tersebut kepadaku, maka aku pun tersadar." HR Muslim

Hadits tersebut kata Galih, menunjukan bahwa air bekas wudhu adalah suci, sebab apabila air bekas wudhu itu tidak suci, niscaya Rasulullah tidak akan memercikkan air tersebut kepada Jabir.

Namun, meski air musta’mal ini suci dzatnya, tetapi tidak bisa digunakan untuk bersuci, dalilnya adalah hadits shahih riwayat imam Muslim berikut. "Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: janganlah seorang di antara kalian mandi di air yang tergenang. Kemudian seorang bertanya: Wahai Abu Hurairah, lalu bagaimana (bila ingin mandi di air tergenang)? Abu Hurairah menjawab, ’Airnya diambil sedikit demi sedikit.” (HR Muslim).

Galih menyampaikan, hadits di atas mengindikasikan bahwa mandi junub di air yang tergenang dapat menghilangkan sifat suci air tersebut, sebab apabila tidak seperti itu tentu mandi di sana tidak akan dilarang, sementara apabila mandinya dengan cara diambir airnya diperbolehkan. Selain itu, air musta’mal tidak bisa digunakan untuk bersuci karena sudah bukan air mutlak lagi. 

Imam Abu Ishaq as-Syirazi (w 476 H) mengatakan, "Apakah air musta’mal boleh digunakan untuk bersuci? Dalam masalah ini ada dua pendapat dalam kalangan ulama Syafi’iyah, tetapi yang manshus (terverifikasi) adalah bahwa air musta’mal tidak bisa digunakan untuk bersuci karena telah hilangnya kemutlakan nama air pada air tersebut, sehingga hukumnya seperti air yang berubah karena tercampur za’faron." 

Jadi jelaslah, menurut Ustadz Galih, air musta’mal ini dalam Madzhab Syafii meskipun suci dzatnya, namun tidak bisa digunakan untuk bersuci.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement