Rabu 20 May 2020 21:15 WIB

Pandemi Covid-19 Buat Klub Tahan Diri di Bursa Transfer

Pandemi membuat klub-klub berduit menahan diri untuk melepas pemain atau berbelanja.

Paris Saint-Germain merayakan gelar juara Ligue 1 musim 2018/2019 (ilustrasi). PSG merupakan salah satu klub kaya di Eropa.
Foto: EPA-EFE/Julien de Rosa
Paris Saint-Germain merayakan gelar juara Ligue 1 musim 2018/2019 (ilustrasi). PSG merupakan salah satu klub kaya di Eropa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Krisis Covid-19 tak cuma menggerogoti struktur finansial klub-klub sepakbola profesional Eropa, melainkan juga bursa transfer. Krisis ini akan menjatuhkan nilai pemain-pemainnya, termasuk Neymar, Paul Pogba, Kylian Mbappe yang tahun sebelumnya membuat harga di bursa transfer menjadi tak masuk akal.

Kini, menjelang bursa musim panas yang tak jelas kapan mulainya ketika semua liga besar tutup toko, kecuali Bundesliga, harga para superstar tak sementereng dulu. Akibatnya juga, pemain yang tak berlabel bintang harganya makin tergerus.

Baca Juga

Bagi klub-klub yang nyaris bangkrut, mereka terpaksa harus melego pemain-pemain terbaiknya pada harga di bawah yang seharusnya.

Mereka inilah yang menjadi incaran klub-klub kaya. Pada masa krisis seperti ini siapa yang memiliki cadangan tunai kuat itulah yang memenangkan pasar.

Bagi klub-klub yang akan selamat dari krisis ini, pandemi membuat mereka menahan diri untuk melepas pemain atau berbelanja. Contohnya Barcelona yang ingin menjual salah satu properti mahalnya Ousmane Dembele yang dibeli dalam harga 105 juta euro (Rp1,69 triliun) pada 2017. Kini, Barcelona disebut-sebut menahan pemain ini karena selain sulit mendapatkan pembeli, manajemen klub tak mau mengobral dengan harga murah.

Sebaliknya klub besar yang bernafsu mengincar pemain bintang seperti Real Madrid yang memburu Kylian Mbappe yang seharusnya tahun ini masuk kandidat pemain paling mahal tahun ini, harus menunda keinginannya terwujud setelah krisis virus berakhir.

Tapi beberapa klub seperti Borussia Dortmund mungkin tergoda melepaskan asset paling berharganya seperti Erling Braut Halaand. Ini untuk mengurangi tekanan dampak krisis virus terhadap keuangan klub.

Selain dari itu, kesepakatan pinjam pemain pun menjadi pilihan realistis pada era pandemi. Terutama untuk klub-klub yang keuangannya sehat, opsi pinjam adalah paling realistis, sambil menantikan situasi normal lagi sehingga memiliki kesempatan mempermanenkan pemain yang dipinjamnya.

Pertanyaannya, apakah pergeseran yang mungkin terjadi ini menunjukkan sepakbola profesional ambruk?

Ulasan ESPN ini bisa menjadi jawaban untuk itu; "Pulih total mungkin perlu waktu sedikit lama, tetapi semua klub kemungkinan tetap bertahan sampai tiga tahun ke depan."

Logikanya begini. Mengutip perhitungan Deloitte, pada musim 2017-2018, total pendapatan yang direngkuh sepak bola Eropa mencapai 28,4 miliar euro (Rp 457 triliun). Musim lalu diperkirakan jauh lebih tinggi lagi.

Taruhlah pandemi berdampak jangka panjang kepada industri sepak bola. Sebut saja memangkas separuh angka 2017-2018 itu. Bahkan separuh dari nilai musim itu hampir sama dengan nilai yang didapat pada musim 2008-2009 ketika revenue mencapai 15,7 miliar euro (Rp 253 triliun).

Dengan nilai sebesar itu pun klub-klub bisa bertahan hidup bahkan jauh sebelum pendapatan dari hak siar televisi mengerek pendapatan mereka secara gila-gilaan. Jadi, pandemi bagi industri sekreatif sepakbola, tidak cuma menciptakan tsunami finansial, namun juga menstimulasi inovasi dan pemikiran alternatif. Pertukaran pemain salah satunya.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement