Kamis 21 May 2020 05:52 WIB

Wawancara Ekslusif Gus Nadir: Begitu Fleksibelnya Islam!

Gus Nadir menegaskan tentang fleksibelitas Islam dalam beribadah.

Rep: Muhyiddin/ Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Peneliti Nadirsyah Hosen
Foto: Dokumen Pribadi
Peneliti Nadirsyah Hosen

REPUBLIKA.CO.ID, Pandemi virus korona baru (Covid-19) mengubah wajah dunia saat ini. Indonesia pun tak luput dari persebaran Covid-19. Umumnya, orang-orang mewaspadai virus tersebut. Namun, ada pula yang ketakutan atau bahkan panik. Barangkali, hal itu disebabkan jumlah korban jiwa akibat terinfeksi Covid-19 tidaklah sedikit.

Dalam bahasa agama, rasa takut diistilahkan dengan khauf. Menurut intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) Nadirsyah Hosen PhD, munculnya khauf dalam situasi pandemi cukup wajar. Akan tetapi, perasaan itu hendaknya disertai pula dengan keyakinan memiliki harapan (raja'). Lebih lanjut, keseimbangan antara khauf dan raja' sesuai dengan ajaran ahlus sunnah wa al-jama'ah (Aswaja).

Baca Juga

Jadi, Aswaja itu posisinya adalah tawasuth, tengah-tengah, antara khauf dan raja', ujar pakar syariat sekaligus dosen pada Monash University Australia itu. Berikut adalah petikan wawancara wartawan Republika.co.id, Muhyiddin, dengan sosok yang akrab disapa Gus Nadir itu baru-baru ini, sebagaimana dikutip dari dokumentasi Harian Republika.

Pandemi Covid-19 dijelaskan menurut perspektif Islam?

Kita tahu, ada lima prinsip dalam maqashid al-syariah. Ada yang memang harus didahulukan dalam kondisi wabah seperti Covid-19 ini. Para ulama berdiskusi dari kelima hal yang harus kita jaga dalam syariat Islam. Di antaranya, ada hifdzud din (menjaga agama) dan hifdzun nafs (menjaga jiwa). Sebagian ulama ushul fikih ada yang mengatakan, yang harus didahulukan adalah hifdzu nafs, baru kemudian hifdzu din. Bahkan, ada yang menaruh hifdzud din paling belakang.

Konsekuensinya, jika terjadi benturan antara persoalan menjaga agama dan menjaga diri kehidupan kita, mana yang harus dimenangkan? Da lam hal ini, para ulama ada yang memilih hifdzun nafs itu diutamakan. Mereka berargumen, misal, saat sedang puasa kondisi kita sakit. Ayat Alquran mengatakan, boleh kita untuk membatalkan puasa.

Artinya, kalau ada pertimbangan medis, kondisi kita tak sanggup berpuasa, atau kalau berpuasa ternyata bisa menimbulkan bahaya buat kesehatan kita, maka agama memberikan opsi untuk tidak berpuasa. Tentu, (puasa) harus diganti di hari lain.

Begitu juga kewajiban beribadah haji. Saat kondisi tidak aman, kewajiban itu bisa menjadi gugur sehingga ditunda ke tahun berikutnya. Para ulama klasik sudah menyampaikan ini. Maka berdasarkan contoh-contoh itu, sebagian ulama mengatakan, hifdzun nafs harus diutamakan. Cuma, mereka membuat redaksi yang berbeda. Salah satu redaksinya adalah, shihatul abdan muqaddamatun ala shihatil adyan. Kesehatan badan lebih diutamakan daripada keselamatan agama. Dengan kata lain, hifdzun nafs didahulukan ketimbang hifdzud din ketika terjadi benturan di tengah (wabah) Covid-19.

Ini berkaitan juga dengan imbauan sholat di rumah?

Salah satu kaidahnya, tadi. Jika ada kemudian kemaslahatan di sana, tapi juga ada mafsadat atau kemudaratan, maka dalam kondisi tertentu kita harus menghindari kemudaratan dibanding mengambil maslahat. Mungkin, kalau dalam bahasa policy pemerintah saat ini, kita harus menyelamatkan jiwa manusia lebih dulu dibandingkan mencari keuntungan ekonomi. Sebab, ekonomi bisa kita hidupkan kembali, tetapi manusia yang wafat tak bisa kita hidupkan kembali. Kira-kira begitu.

Namun, beberapa masih beribadah atau aktivitas seperti biasa?

Jadi, Aswaja itu posisinya adalah tawasuth, di tengah-tengah antara khauf dan raja'. Di tengah-tengah, antara kita itu merasa takut dengan takdir atau ketentuan Allah, siksa dan azab Allah, tetapi dalam diri kita juga ada raja' atau harapan akan pertolongan dan rahmat Allah. Jadi, kita harus di tengah-tengah antara khauf dan raja'. Begitu juga antara takdir dan tawakal, atau antara takdir dan ikhtiar. Hendaknya juga kita ber ada di tengah.

Jadi, kita tak boleh lari dari takdir, tetapi kita juga tak boleh berputus asa sehingga enggan ikhtiar. Kita bukan jabbariyah, dan bukan pula Qadariyah. Aswaja itu tengah-tengah. Adalah ketentuan Allah, memang bahwa ada banyak yang wafat karena wabah. Namun, kalau kita takut berlebihan, juga tidak baik. Pada saat yang sama, terlalu percaya diri pun akhirnya tidak bagus sebab justru bisa menjadi ngeyel. Misal, kawan-kawan yang masih ingin menyelenggarkan sholat Jumat, sholat berjamaah, tahlilan, atau bahkan resepsi pernikahan di tengah wabah seperti ini.

Seperti apa sikap antara khauf dan raja' itu?

Untuk mengetahui bahwa kita ada di tengah antara khauf dan raja', kita butuh ilmu. Di sinilah pentingnya para ulama menjelaskan kepada kita semuapara santri dan juga jamaah. Misalnya, tentang kewajiban sholat Jumat. Terus terang, saya tidak mengerti mengapa sekarang banyak pihak cenderung ngeyel, tetap sholat Jumat di tengah wabah.

Padahal, hadis Nabi SAW telah menjelaskan, ketika badai hujan sehingga saat itu Madinah menjadi becekmaka hadis Nabi mengatakan, ya sudah sholat di rumah saja. Jadi, kewajiban sholat Jumat itu menjadi gugur karena uzur syar'i. Para ulama sudah menjelaskan ini. Imam Suyuthi, misal, dalam kitabnya, Al-Asybah wa an-Nazhair, juga sudah membahas berbagai contoh-contoh.

Namun, ini tak berarti di tengah (wabah) Covid-19 kemudian kita tidak sholat. Hanya saja, sholat Jumat itu diganti dengan sholat zuhur. Seperti juga ketika batal berpuasa (Ramadhan) karena sakit. Bukan kemudian puasanya ditiadakan, tetapi diganti di hari-hari lainnya.

Begitu fleksibelnya Islam! Kita sendiri yang kadang bikin ribet sebetulnya. Lain halnya kalau ada fatwa yang mengatakan, tidak boleh sholat lima waktu. Nah, itu jelas tidak benar sebab sholat itu kewajiban. Namun, kalau sholat Jumat ini, kan sebetulnya para ulama sendiri masih berdebat, apakah ini fardhu ain atau fardhu kifayah. Bahkan, satu riwayat dari mazhab Maliki menyatakan, itu hanya sunah sehingga masih bisa diganti dengan sholat zuhur.

photo
K.H Hasyim Muzadi (kanan) bersama dengan Dr. Nadirsyah Hosen (Monash University) dan Professor Greg Barton (Deakin University). - (ABC)

Dalam situasi pandemi ini, apa yang hendaknya kaum Muslimin renungkan menurut Anda?

Saya kira, ada hikmah untuk lebih dekat kepada Allah. Saya kira, ini pandangan yang sangat jernih. Memang, selalu ada hikmah dari berbagai ketetapan Allah. Yang dulunya kita terlalu sibuk di luar, sekarang ada ke sempatan untuk berkumpul dengan keluarga. Kemudian, kita juga bisa beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Yang paling penting menurut saya, sebetulnya dalam setiap ibadah yang Allah perintahkan kepada kita itu ada ajaran untuk berdiam. Misalnya, tumakninah dalam sholat. Di ibadah haji, ada wukufnya. Bahkan, puasa itu juga berarti menahan diri. 

Jadi, sebetulnya sekarang kita sedang diajari untuk lebih banyak menahan diri. Biasanya, yang makannya di luar selama ini akhirnya makannya di rumah, makan bareng ke luarga. Jadi, banyak hikmahnya sebetulnya. Hikmah lainnya, menurut saya, adalah ilmu kita sekarang bertambah. Sebab, di tengah wabah corona ini kita menjadi tahu masalah takdir. Kita menjadi tahu masalah kaidah fikih. Juga, sekarang kita menjadi tahu bagaimana soal penghormatan terhadap jenazah.

Apa yang disampaikan Pak Kiai Said Aqil (Ketua Umum PBNU) saya kira sudah sangat tepat. Kita memang wajib  menghormati jenazah. Sebetulnya, protokol dari Kementerian Kesehatan juga sudah jelas tentang bagai-ma na menangani jenazah yang terkena korona secara aman. Jadi, agak aneh kalau masyarakat dengan alasan khawatir terhadap virus ini justru menolak jenazah. Sebab, penanganan sudah dilakukan dengan sangat hati-hati. Selain dibungkus dengan kain kafan, jenazah juga dibungkus dengan plastik, kemudian petinya juga khusus. Sebetulnya, tidak perlu ada penularan.

Mungkin, para tokoh masyarakat dan ulama harus menjelaskan, itu bukan salah pasien. Ini (terkena Covid- 19) bukan sebuah aib. Bahkan, dalam hadis juga telah dijelaskan mengenai orang-orang yang mati syahid. Jadi, mati syahid itu bukan hanya kalau gugur dalam pertempuran. Jihad pun bukan hanya berperang. Misal, sedang menuntut ilmu lalu tertabrak dan meninggal, ia juga mati syahid.

Begitu juga orang yang bekerja mencari nafkah buat keluarganya dengan niat ibadah. Kalau ia meninggal, itu juga mati syahid. Orang yang hamil kemudian meninggal, itu juga mati syahid. Orang yang tenggelam, ia mati syahid. Bahkan, orang yang terkena wabah, kata hadis Nabi, itu juga mati syahid. Jadi, mati syahid yang dimaksud ini adalah bukan seperti orang berperang yang jenazahnya rusak sehingga tidak perlu dimandikan lagi.

Tetap diberikan penghormatan dengan dimandikan. Hanya saja, nanti di akhirat ia insya Allah akan masuk surga tanpa hisab. Ini luar biasa bentuk penghormatan Islam kepada korban. Kalau Allah saja menghormati jenazah itu tadi dan memberikan anugerah mati syahid, kok kita malah mencaci maki, menghina seperti yang di video marak beredar itu, atau bahkan menolak jenazah untuk dimakamkan?  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement