Jumat 22 May 2020 17:58 WIB
Konser

Man Of The Corona Year: Melihat konser BPIP dari Norwegia

Melihat konser BPIP dari Norwegia

Konser BPIP di tengah pandemi Corona yang abai melakukan jaga jarak.
Foto: istimewa
Konser BPIP di tengah pandemi Corona yang abai melakukan jaga jarak.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Savitry Icha Khairunnisa, WNI tinggal di Norwegia

Negeriku yang kini jauh di maya memang sungguh 'embuh'. Membuatku sering kehabisan kata-kata, tapi juga jadi sumber inspirasi. 
Meski nggak selalu positif, yang penting negeriku memang inspiratif.

Bayangkan, di tengah pandemi global bernama Corona ini, entah berapa kali kami dari Norwegia menyaksikan selebrasi demi selebrasi. Sementara perjuangan melawan --'eh berdamai -- dengan Corona masih jauh dari selesai.
Namun selalu ada celah untuk merayakan kemajuan, sekecil apapun itu.

Mulai seremoni penyerahan Jamu Jokowi oleh Pak Menkes (yang sekarang ngumpet entah ke mana), penganugerahan Duta Corona untuk para ABK World Dream, sampai Konser Berbagi Kasih Bersama Bimbo beberapa hari lalu.
 Kabarnya Pemda Tegal juga bakal merayakan berakhirnya PSBB dengan menyumet kembang api hari ini. Entah jadi apa nggak.

Apa tokh ya, urgensinya mengadakan perayaan di tengah pandemi? Kala semua orang hidup prihatin, rakyat disuruh diam di rumah untuk memutus mata rantai penyebaran virus, sampai perintah social distancing yang masih terus didengungkan. Sementara konser yang diselenggarakan MPR bersama BPIP dan BNPB itu sungguh mempertontonkan paradoks. No social distancing, no mask, zero empathy, maximum gimmick, and the most ridiculous prank.

Bayangkan, tiga lembaga tinggi negara yang penuh orang-orang pintar, bisa kecolongan oleh seorang buruh harian di Jambi. Adakah kejadian yang lebih kocak sekaligus tragis daripada itu?

Padahal menurut MC acara, semua peserta bidding sudah terverifikasi statusnya. Jadi bisa dipertanggungjawabkan alias no kaleng-kaleng. 
Kenyataannya malah sebaliknya. Yang malu bukan cuma duo MC, para artis yang terlibat, namun juga para petinggi negara yang jadi penyelenggara acara. 
Kalau Pak Jokowi tahu kejadian ini, sudah bisa dipastikan beliau akan KAGET. Seperti biasa.

                           *******

Sebagai rakyat, rasanya kita sudah lebih dari cukup dicekoki berbagai kegaduhan akibat ketidakcakapan para pemimpin negara. Ya kebijakan yang mencla-mencle nggak jelas, penanganan yang lambat, bantuan yang salah sasaran, rakyat yang bingung akhirnya jadi mbalelo, sampai perayaan yang jadi seakan jadi hobi dan keharusan.

Entahlah apa orang-orang di atas sana merasa demikian. Atau lembaga seperti BPIP memandang bahwa mengadakan konser di tengah pandemi adalah salah satu wujud pembinaan ideologi Pancasila? Apa nggak seharusnya BPIP ini dibubarkan aja seperti yang sempat viral di medsos itu ya? Karena dari awal keberadaannya saya merasa belum terasa manfaatnya buat rakyat. Malah membebani anggaran negara sih iya.

Cukuplah segala hal yang berbau perayaan dan gimmick nir faedah. Sekarang bukan waktunya. Rakyat lebih butuh ketegasan dan perlindungan nyata dari negara, bukan malah dialihkan perhatiannya ke hiburan dan nyanyian yang melenakan. Apalagi di bulan Ramadhan seperti sekarang.

                        ******

Saya ajak teman-teman melihat sekilas perkembangan di Norwegia. 
Setelah mengunci diri secara ketat sejak 12 Maret lalu, pemerintah kembali membuka secara bertahap fasilitas umum. Sekolah, bisnis, sampai perkantoran. Hanya perbatasan negara saja yang masih belum dibuka. Orang asing masih tetap belum boleh masuk.

Selama dua minggu sejak lockdown direlaksasi, kurva kasus covid-19 tetap melandai, bahkan cenderung turun. Sempat ada sekitar seminggu di mana tidak ada penambahan kasus sama sekali. Kalaupun akhirnya ada tambahan, selalu terkendali di bawah 10 kasus per hari. Jumlah orang yang dites sudah di atas 100.000. Perbandingan yang cukup signifikan dari total penduduk yang 5 jutaan.

Apakah pemerintah dan rakyat Norwegia lalu jadi relaks dan mengadakan perayaan?
 Yang jelas konser masih belum boleh sampai Juni nanti. Pengumpulan orang di satu event maksimal 50 orang. 
Pawai nasional Hari Konstitusi 17 Mei yang lalu pun ditiadakan. Padahal biasanya ini adalah momen yang paling dirayakan seluruh negeri.

Jaga jarak sosial dan protokol kesehatan masih tetap ketat dijalankan. 
Pemerintah bahkan mengeluarkan anggaran khusus untuk pengadaan guru tambahan, demi mengakomodasi keperluan jam sekolah yang diadakan secara bergiliran.

Pemerintah dan ilmuwan mengakui kecenderungan baik terkait penurunan kasus baru. Hal yang patut disyukuri. Hasil kerja sama pemerintah yang tegas mengayomi, dan rakyat yang manut yen dituturi.


Namun kami semua diwanti-wanti bahwa gejala penurunan kasus ini jangan dianggap enteng sehingga menurunkan kewaspadaan. 
Kuncinya tetap waspada dan jangan terlalu gembira dulu. Karena perjuangan belum selesai. Sekarang belum waktunya untuk "berdamai" dengan Korona.

                                  ******

Kembali ke konser amal yang sungguh fenomenal tadi. Meski bikin gregetan, tapi mungkin kita patut berterima kasih. Konser ini pada akhirnya memang betul-betul menghibur. Setidaknya membuat kita senyum sendiri. Kok bisaaaa gitu, lho.

Tidak berlebihan rasanya kalau Konser Berbagi ini didapuk sebagai Konser Abad Ini. 
Konser yang dianggap sukses, tapi ternyata malah zonk. Duit donasi yang katanya 4M ternyata harus berkurang 2,55M. Padahal barangnya buatan anak negeri. Motor listrik Gesits yang sudah "dibawa muter-muter keliling istana sama Pak Jokowi", bahkan bertanda tangan beliau pula. Ternyata nggak jadi laku.

Siapa orang yang tega mem-PHP para penyelenggara konser bergengsi itu? Kok berani (atau lugu) banget Pak M. Nuh melakukan hal itu. Satu orang berhasil membuat heboh sak Indonesia.

Sepertinya layak kalau Pak M. Nuh dinobatkan sebagai "Man Of The Corona Year".

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement