Senin 25 May 2020 14:02 WIB
Islam

Islam Doktrin dan Peradaban: Ketuhanan Dan Masalah Mitologi

Mengkaji karya Nurcholish Madjid: Islam Doktrin Peradaban

Suasana masyarakat dalam dinasti Ottoman.
Foto: wikipedia
Suasana masyarakat dalam dinasti Ottoman.

REPUBLIKA.CO.ID, Berikut ini merukan sebagian cupikan tulisan karya mendiang cendikiawan DR Nurcholis Madjid dalam bukunya yang sangat terkenal pada dekade awal 1990-an, 'Islam Doktrin dan Peradaban'. Buku yang terbit pada tahun 1992 ini banyak dianggap sebagai karya 'magnum ophus' Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid, red).

Buku terebut kala itu menjadi bahan perbincangan di kalangan publik intelektual yang saat itu mulai dan sangat bergairah mengkaji ajaran Islam bersamaan dengan 'booming'-nya kaum inteletual di kalangan kaum santri. Pro kontra terjadi. Namun saat itu menjadi hal yang sangat indah, misalnya dengan tidak adanya --atau mudahnya -- pihak yang tak sependapat melaporkan diri kepada 'hamba hukum' dengan dalih apa pun.

Mari kita nikmati sepenggal tulisan karya Cak Nur yang keren ini dengan topik ' Ketuhanan dan Masalah Mitologi"

----------------

 

Jadi keruntuhan sistem Eropa Timur yang dramatis itu, dari banyak kemungkinan interpretasinya, membuktikan adanya sesuatu yang sangat alami pada manusia, yaitu, sebutlah, naluri untuk beragama, jika dengan ―agama‖ dimaksudkan terutama kepercayaan kepada satu wujud maha tinggi yang menguasai alam sekitar manusia dan hidup manusia itu sendiri, apapun nama yang diberikan kepada wujud maha tinggi dan maha kuasa itu. (Cukup menarik bahwa nama generik yang diberikan kepada wujud maha tinggi itu dalam berbagai bahasa merupakan cognatedalam bahasa-bahasa Indo-Eropa: ―Deva‖, ―Theo‖, ―Dos‖ dan ―Do‖ serta ―Khodâ‖, dan ―God‖; dalam bahasa-bahasa Semitik: ―Ilâh‖, ―Ill‖, ―El‖, dan ―Al‖; bahkan antara ―Yahweh‖ dalam bahasa Ibrani dan ―Ioa‖ dalam bahasa Yunani pun, selain menunjukkan kesamaan konsep tentang wujud mahatinggi, juga menunjukkan kemiripan bunyi sehingga juga boleh jadi merupakan cognate (Lih., Robin Lane Fox, Pagans and Christians, 1986, h. 257).

Kenyataan bahwa semua manusia dan kelompok-kelompoknya selalu mempunyai kepercayaan tentang adanya suatu wujud maha tinggi itu, dan bahwa mereka selalu mengembangkan suatu cara tertentu untuk memuja dan menyembahnya, menunjukkan dengan pasti adanya naluri keagamaan manusia. Percaya kepada suatu ―tuhan adalah hal yang dapat dikatakan taken for granted pada manusia, sepenuhnya manusiawi, sehingga sebenarnya usaha mendorong manusia untuk percaya kepada Tuhan adalah tindakan berlebihan. (―Tidak didorong pun manusia telah percaya kepada Tuhan‖, begitu kira-kira rumus sederhananya). Sekali lagi, keruntuhan sistem atheis... di Eropa Timur, dan secara potensial juga di negeri-negeri Marxis lainnya, membuktikan dengan jelas kebenaran dalil itu.

Karena manusia pada dasarnya mempunyai naluri untuk percaya kepada Tuhan dan menyembah-Nya, dan disebabkan berbagai latar belakang masing-masing manusia yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat dan dari satu masa ke masa, maka agama menjadi beraneka ragam dan berbeda-beda meskipun pangkal tolaknya sama, yaitu naluri untuk percaya kepada wujud maha tinggi tersebut.

Keanekaragaman agama itu menjadi lebih nyata akibat usaha manusia sendiri untuk membuat agamanya lebih berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengaitkannya kepada gejala-gejala yang secara nyata ada dise-kitarnya. Maka tumbuhlah legenda-legenda dan mitos-mitos, yang kese-muanya itu merupakan pranata penunjang kepercayaan alami manusia kepada Tuhan dan fungsionalisasi kepercayaan itu dalam masyarakat.

Nurcholish Madjid dan Semangat Egaliterianisme Halaman 1 ...

Legenda-legenda dan mitos-mitos itu juga diperlukan manusia sebagai penunjang sistem nilai hidup mereka. Semua itu memberi kejelasan tentang eksistensi manusia dalam hubungannya dengan alam sekitarnya, sekaligus tentang bagaimana bentuk hubungan yang sebaik- baiknya antara sesama manusia sendiri dan antara manusia dengan alam sekitarnya, serta dengan wujud maha tinggi. Manusia tidak dapat hidup tanpa mitologi atau sistem penjelasan tentang alam dan kehidupan yang

kebenarannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Maka tidak ada kelompok manusia yang benar-benar bebas dari mitologi. Dan karena suatu mitos harus dipercayai begitu saja, maka ia melahirkan sistem kepercayaan.

Jadi utuhnya mitologi akan menghasilkan utuhnya sistem kepercayaan. Dan, pada urutannya, utuhnya sistem kepercayaan akan menghasilkan utuhnya sistem nilai. Kemudian sistem nilai sendiri, yang memberi manusia kejelasan tentang apa yang baik dan buruk (etika), mendasari seluruh kegiatannya dalam menciptakan peradaban. Karena itu John Gardner, seorang cendekiawan Amerika yang pernah menjadi Menteri Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan pemerintahan Presiden J. F. Kennedy, pernah mengatakan, ―No nation can achieve greatness unless it believes in something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great civilization (tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika tidak bangsa itu percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban yang besar). Dan, sekali lagi, keper-cayaan kepada ―sesuatu itu melahirkan sesuatu yang secara umum disebut ―agama, yang sejauh pengalaman sebagian besar manusia, lebih banyak berdasarkan atau berpusatkan legenda dan mitologi.

Tetapi kita sekarang semuanya tahu bahwa legenda dan mitologi itu tidak menuju kepada kenyataan yang benar. Hal ini lebih-lebih terbukti berkenaan dengan legenda dan mitologi yang menyangkut alam sekitar yang nampak mata beserta gejala-gejalanya. Menurut seorang ilmuwan terkenal, ahli mitologi, Joseph Campbell, contoh mitologi kuna yang sampai saat ini masih dapat disaksikan ―fosil-fosil‖-nya ialah mitologi Yunani bahwa bumi tempat hidup kita ini adalah sebuah benda keras berbentuk bola yang tidak bergerak, yang terletak di tengah semacam kotak Cina yang terdiri dari tujuh bola tembus pandang yang berputar, yang pada masing-masing batas luar bola itu terdapat Matahari, Rembulan, Mars, Merkurius, Yupiter, Venus dan Saturnus (Campbell, Myths to live By, 1988, h. 2).

Benda-benda langit ini telah diketahui lebih dahulu oleh pada pendeta kawasan Mesopotamia Kuna yang dari zigurat-zigurat mereka selalu mengawasi langit, antara lain untuk mengetahui perhitungan waktu dan musim (yang sangat diperlukan oleh para petani). Karena kehadiran benda-benda itu langsung atau tidak langsung dirasakan berpengaruh kepada keadaan di bumi dan kehidupan manusia, maka benda-benda itu mengesankan kemaha-kuasaan, yang kemudian diyakini sebagai ―tuhan‖. Dari situlah kemudian tumbuh praktik menyembah benda-benda langit tersebut. Dan dari situ pula selanjut-nya muncul konsep hari yang tujuh,  sebagai akibat praktik menyembah satu ―tuhan satu hari. Karena itu, nama-nama hari yang tujuh terkaitkan dengan nama-nama ―tuhan‖ atau ―dewa yang ada di langit tersebut, masing-masing (seperti dapat dilihat pada bahasa-bahasa Eropa) ialah Hari Matahari, Hari Rembulan, Hari Mars, Hari Merkurius, Hari Jupiter, Hari Venus dan Hari Saturnus.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement