Selasa 26 May 2020 11:17 WIB

Citilink, Efisiensi Jadi Kunci Hadapi Krisis

Dalam jangka menengah, Citilink sedang meredefinisi bisnis.

Rep: Jeihan Kahfi Barlian (swa.co.id)/ Red: Jeihan Kahfi Barlian (swa.co.id)
Direktur Utama Citilink Juliandra Nurtjahjo
Direktur Utama Citilink Juliandra Nurtjahjo

Dunia penerbangan sedang menghadapi masa paling menantang di tengah pandemi Covid-19. Penurunan drastis jumlah penerbangan terjadi secara global akibat penutupan wilayah dan negara, serta kekhawatiran orang untuk bepergian ke luar daerah/negeri. Citilink, yang mayoritas operasinya di pasar domestik, juga merasakan dampak yang sangat signifikan.

Direktur Utama Citilink Juliandra Nurtjahjo mengatakan, pihaknya mengantisipasi adanya penurunan demand hingga mencapai 30 persen dari keadaan normal. “Dalam kuartal pertama tahun ini, Citilink memperkirakan akan mengalami penurunan pendapatan dari penumpang sebesar 20 persen, masih jauh lebih kecil daripada ekspektasi penurunan demand sebesar 30 persen,” katanya.

Juliandra memperkirakan hingga mendekati akhir tahun, kalangan maskapai penerbangan harus berjibaku. Pasalnya, industri ini bersifat seasonal, sehingga periode peak season sangat penting. “Dengan pemulihan yang hanya terjadi menjelang akhir tahun, berarti periode peak saat Lebaran yang bersamaan dengan libur sekolah akan berubah menjadi periode lemah,” katanya. Karena itu, Citilink akan mengerahkan segala daya untuk mencari sumber pendapatan lain atau melakukan upaya efisiensi di segala bidang.

Bagi Citilink, mengupayakan sumber pendapatan lain di luar penumpang dinilai sebagai opsi yang realistis. Karena, sampai kuartal pertama ini masih menunjukkan adanya pertumbuhan.

Selain itu, upaya efisiensi pun akan ditempuh. Misalnya, menyesuaikan kapasitas operasional dengan demand sehingga tidak ada ekses kapasitas yang menjadi sumber pemborosan. Yang juga menjadi prioritas, mengevaluasi proses bisnis yang tidak efisien, terutama untuk pos-pos pengeluaran yang tinggi bagi airline, seperti bahan bakar, serta mengoptimalkan pemanfaatan jam terbang pesawat.

Dalam aktivitas operasionalnya, anak usaha Garuda Indonesia ini juga melakukan upaya preventif sebagai bentuk keseriusan dalam mencegah penyebaran Covid-19. Sejak 31 Januari 2020, secara berkala Citilink melakukan proses disinfeksi terhadap semua armadanya yang berjumlah 60 pesawat. Termasuk, memastikan penggunaan filter HEPA (High Efficiency Particulate Arrestors), yaitu alat penyaring sirkulasi udara pesawat di semua armadanya, yang memiliki kemampuan menyaring debu dan kontaminan udara tingkat tinggi. Tidak kalah penting, prosedur pembagian tempat duduk, proses check-in, dan boarding juga menjadi perhatian.

Tim manajemen Citilink juga telah menetapkan langkah-langkah ke depan untuk mengantisipasi imbas Covid-19. Untuk jangka pendek, semua rute yang mengalami penurunan demand secara signifikan akan dilakukan penyesuaian kapasitas atau bahkan ditutup sama sekali, setidaknya untuk jangka waktu tertentu. Adapun untuk rute-rute yang masih potensial dan stabil, Citilink melakukan retensi, dengan menambah frekuensi agar utilisasi pesawat yang tersedia dapat dimaksimalkan sekaligus menurunkan biaya satuan (unit cost).

Dalam jangka menengah, Citilink sedang meredefinisi bisnis atau mentransformasi bisnis. “Masa krisis adalah masa yang paling baik untuk step back dan mengajak seluruh insan mengevaluasi proses-proses yang inefisien,” kata Juliandra. Prioritasnya adalah proses yang berdampak paling luas, misalnya yang terkait dengan penggunaan bahan bakar. Apalagi, maskapai adalah salah satu industri dengan margin yang minimal. “Efisiensi dapat menjadi faktor pembeda antara yang survive dan yang tidak,” katanya. “Efisiensi juga yang mungkin menjadi pembeda airline yang terus berkembang menjadi airline kelas dunia atau hanya puas menjadi airline marginal.”

Dalam jangka panjang, Citilink mengkaji sumber-sumber pendapatan lain yang memungkinkan penyebaran risiko bisnis. Sekarang, menurut Juliandra, airline semakin berevolusi menjadi multi-faceted, bukan hanya melulu bergerak di sektor aviasi dengan bisnis penumpang dan kargo, tetapi juga bisa bertransformasi menjadi platform bisnis yang bahkan tidak berhubungan dengan dunia aviasi. “Dengan transformasi ini, risiko menjadi lebih terdistribusi sehingga dampak yang tidak terantisipasi menjadi lebih manageable,” katanya.

Juliandra berharap pemerintah dapat membantu menciptakan kebijakan yang memungkinkan harga jual avtur di pasar domestik lebih kompetitif. Sebab, avtur bisa mengambil porsi sampai 30% dari struktur biaya operasional sebuah penerbangan sehingga bantuan sedikit apa pun akan berdampak signifikan. Ia juga berharap pemerintah dapat membantu memberikan keringanan bea masuk bagi komponen pesawat, juga biaya kebandarudaraan, seperti biaya navigasi, parkir pesawat, dan sewa gedung. (*)

www.swa.co.id

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan swa.co.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab swa.co.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement