Jumat 29 May 2020 06:21 WIB

Bertahan Menuju New Normal

Apabila Covid-19 sebagai petaka bersama, kita berharap akan muncul sociopreneur.

 Budi Santoso, Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
Foto: dok pri
Budi Santoso, Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Budi Santoso (Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta)

Pandemi Covid-19 telah disiasati dengan berbagai kebijakan oleh pemerintah di berbagai negara. Pemerintah Indonesia, sejak awal tidak mau menerapkan Lockdown untuk menghentikan penyebaran Covid-19. Pemerintah Indonesia memilih PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) sejak awal Maret 2020. 

Pemerintah mungkin mempertimbangkan bahwa Lockdown akan mengisolasi masyarakat dan menghentikan segala aktivitasnya, semuanya harus di rumah. Imbasnya tentu akan  banyak mematikan berbagai sektor perekonomian dan menyusahkan banyak orang. Bahkan, efeknya lebih berbahaya dari wabah Covid-19 itu sendiri. 

Ketika industri berhenti, suplai makanan terhenti. Orang menganggur, kemiskinan bertambah, terjadi kelaparan, berebut makanan dan ujungnya kerusuhan massal, yang mungkin akan sulit dikontrol dan biasanya akan memakan korban jiwa untuk menormalkannya kembali. Kasus di beberapa negara, kebijakan Lockdown untuk mengatasi Covid-19, juga terasa kurang efektif, karena pelaksanaanya butuh dukungan masyarakat dengan ketaatannya dan “ketegasan” pemerintah.

Keputusan PSBB telah berjalan lebih dari 60 hari. Kebijakan PSBB yang lebih lunak dari Lockdown saja sudah berhasil membuat berbagai bisnis mati suri. Perusahan besar yang “dipaksa” berhenti operasi sudah mulai merasa ‘kepayahan”.  Biaya tetap berupa sewa, biaya utilitas, dan mungkin berbagai cicilan kredit dengan pihak ketiga  harus tetap dibayar. 

Sedangkan pendapatan dari hasil penjualan berkurang atau tidak ada sama sekali. Perusahaan dalam naungan grup bisnis mungkin dapat bertahan dengan melakukan subsidi silang atau masih memiliki cadangan cash yang cukup.

Hampir semua perusahaan dalam mengoperasikan usahanya bermain dengan aliran kas atau managing cash-flow. Banyak perusahaan membuat aliran kas secara rinci, mingguan, bulanan dan tahunan, yang merinci rencana kas masuk dan kas keluar.  Sehingga biasanya menyisakan saldo kas minimal. Besaran saldo minimal (iron cash) ditetapkan  berdasarkan pengalaman kebutuhan kasnya. 

Asumsi yang dipergunakan perusahaan beroperasi normal, jarang perusahaan merencanakan arus kas dengan skenario perusahaan tidak beroperasi dan tidak memperoleh pendapatan  selama dua bulan, seperti kasus PSBB sekarang  ini. Saldo kas hanya ala kadarnya, jarang untuk cadangan sampai kebutuhan biaya sampai dua bulan.  

Pertanyaannya adalah berapa lama perusahaan mampu bertahan membiayai usahanya dengan kas yang dimilikinya? Merujuk riset seorang dosen tentang perusahaan di Indonesia, menunjukan fakta yang unik. Banyak perusahaan di Indonesia tidak banyak memegang kas, kecuali BUMN. Level cash holding perusahaan manufaktur rata-rata 15 persen dari aset lancarnya.

Terbukti, baru sebulan berjalan PSBB banyak perusahaan terancam tidak beroperasi, baik karena “dipaksa” tutup maupun karena kesulitan cash flow. Hotel dan industri pariwisata, yang  langsung “rebah”, karena nyaris tidak mampu menghasilkan pendapatan, namun harus tetap mengeluarkan uang untuk biaya tetapnya yang relatif besar.

Kelompok usaha yang lebih merana lagi adalah perusahaan skala Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), biasanya dimiliki oleh perorangan, modal terbatas, kasnya selalu minimal. Mereka hanya berharap dari perputaran uang harian di dalam perusahaannya. Kadangkala kelebihan kas sebagai laba harian habis dipergunakan untuk konsumsi rumah tangganya. 

Ketika lebih dari 60 hari tidak beroperasi, ketika pendapatan mereka berhenti, membuat mereka mulai memakan modalnya. Modal usahanya tergerus bahkan habis. Banyak kelompok UMKM sudah mulai berutang kesana kemari. Keputusan menjual aset tidak mudah dilaksanakan pada masa pandemi.  Perbankan diharapkan sebagai andalan, meskipun  sangat rumit dengan berbagai persyaratannya.  

Sebagai pengusaha, pemilik UMKM akan mencari jalan lain, dengan mencari sumber dana dari “Lembaga pembiayaan liar”, seperti rentenir atau siapa saja, meski berbunga tinggi, namun relatif mudah prosesnya.

Kita semua mengetahui, perekonomian Indonesia ditopang oleh sektor mikro, usaha kecil, usaha Menengah dan Usaha Besar. Meski masih relatif kecil dalam menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB), namun UMKM menyerap tenaga kerja yang sangat besar. Usaha mikro  menyerap sekitar 107 uta tenaga kerja (89,2%), Usaha Kecil 5,7 juta (4,74%), dan Usaha Menengah 3,73 juta (3,11%); sementara Usaha Besar menyerap sekitar 3,58 juta jiwa. 

Artinya, secara gabungan UMKM menyerap sekitar 97% tenaga kerja nasional. Sementara, Usaha Besar hanya menyerap sekitar 3% dari total tenaga kerja nasional. Kita dapat membayangkan akibatnya, apabila kita berlama-lama dengan PSBB, dan tetap bertahan dengan konsep PSBB. Malapetaka apa yang akan terjadi khususnya di UMKM? Sekitar 97% tenaga kerja terkena imbasnya, dan kita dapat mereka-reka, akibat turunannya.

Ketika New Normal dikumandangkan, awal Juni 2020, kita harus dapat berdamai dengan Covid dan protokol tertentu. Hal ini tidak akan serta merta membuat UMKM dapat berusaha kembali. Saya menduga banyak UMKM yang sudah kehabisan modal usahanya. Terutama kelas mikro, modal habis untuk membiayai kebutuhan keluarganya, selama “beristirahat”. 

Menjadi pekerjaan berat bagi pemerintah untuk memfasilitasi para pengusaha mikro ini, terutama dalam hal permodalan usahanya. UMKM sudah tidak usah diajari lagi  dengan berbagi pelatihan yang “tidak jelas”. Pelatihan dengan materi seperti mengajari bebek berenang. Mereka sudah paham bisnisnya dan sudah tahan uji, sebagai prasyarat menjadi wirausaha. 

UMKM hanya cukup diberi stimulan modal pengganti yang hilang, untuk membangkitkan usahanya. Agar UMKM dapat berjalan normal kembali. Setuju dengan pernyataan Sandiaga Uno, sektor UKM relatif akan mudah cepat bangkit pasca-Covid, tentunya asal diberikan sentuhan atau bantuan yang tepat.

Apabila Covid-19 sebagai petaka bersama, tidak ada salahnya kita mengharapkan akan  munculnya  sociopreneur, dari kalangan pengusaha yang mau berbagi usaha dan permodalan untuk membangkitkan usaha kelas mikro dan kecil, seperti Muhammad Yunus dengan Grameen Bank di Bangladesh, yang memberikan kredit mikro tanpa collateral, atau jaminan. 

Atau akan muncul business creator baru, yang mampu mengubah bisnis UMKM yang biasa menjadi luar biasa di era New Normal. Biasanya selalu ada kejutan baru dalam setiap perubahan. Mungkin saja lembaga pengumpul zakat lebih dapat melakukan terobosan penyaluran zakat,  bukan sekadar pada sektor konsumtif,  namun hasil pengumpulan  zakatnya dapat disalurkan dalam bentuk bantuan modal bergulir kepada UMKM, sebagai pemberdayaan umat. Seperti telah dilakukan beberapa lembaga amil zakat.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement