Ahad 31 May 2020 06:08 WIB

Akankah Muslim (Kembali) Menguasai Eropa?

Zaman keemasan Islam di Eropa bertahan dalam kurun waktu sangat lama, tujuh abad.

Pertempuran dan perjumpaan antara orang Muslim (lazim disebut Moro) dengan pasukan Eropa pada perang Salib di Spanyol.
Foto: google.com
Pertempuran dan perjumpaan antara orang Muslim (lazim disebut Moro) dengan pasukan Eropa pada perang Salib di Spanyol.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Amich Alhumami, Peneliti di Department of Anthropology University of Sussex, UK

Peristiwa ini terjadi pada awal abad ke-8 Masehi. Sekitar tujuh ribu (ada pula yang menyebut 12.000) balatentara terperanjat ketika sang jenderal perang, Tareq bin Ziyad, seorang Muslim Berber Afrika, memerintahkan membakar habis kapal-kapal perang setelah mereka berhasil menyeberangi selat Mediterania, dari Maroko mencapai Andalusia.

Ketika balatentara masih tertegun tak percaya, sang jenderal membakar semangat juang mereka dalam sebuah pidato yang sangat heroik, "Oh my warriors, whither would you flee? Behind you is the sea and before you, the enemy. ... You have left now only the hope of your courage and your constancy." Namun, dengan sengit, para pasukan perang itu memprotes 'perintah gila' sang jenderal. ''Bagaimana kita bisa pulang ke rumah untuk berkumpul kembali dengan keluarga kalau kapal-kapal perang dimusnahkan?''

Jenderal Tareq menjawab dengan ungkapan puitis, "The Muslim is not like a bird which has a particular nest." Maka, balatentara itu pun menandai sebuah gunung sebagai titik awal peperangan dengan mengukir nama Gibraltar (Arab: Jabal Tareq).

Bermula dari Gibraltar, riwayat panjang penaklukan tanah Eropa oleh pasukan Muslim dinarasikan dalam kitab-kitab tarikh al-Islam, sebuah proses penundukan dengan menggunakan hard power: perang dan operasi militer. Dan, Andalusia pun jatuh ke tangan pasukan Tareq bin Ziyad pada tahun 711. Tertulis dalam buku-buku sejarah dunia, penguasaan atas benua Eropa berlanjut melalui jalan soft power ketika imperium Islam sukses membangun peradaban baru, berpuncak pada pencapaian cemerlang di bidang sains, filsafat, seni, sastra, dan kebudayaan. Saksikan, zaman keemasan Islam di Eropa bertahan dalam kurun waktu sangat lama, tujuh abad, di bawah kekuasaan dua dinasti besar dalam sejarah Islam klasik: Umayyah (661-750) dan Abbasiyyah (750-1492).

Setelah berjarak sekitar lima abad, penjelajahan Muslim di benua Eropa dimulai kembali bersamaan dengan gelombang imigrasi massal yang berlangsung pada pertengahan abad ke-20. Kaum imigran Muslim yang berdatangan ke Eropa mayoritas berasal dari negara-negara kawasan Asia Selatan (Pakistan, Afghanistan, Bangladesh, India) dan Afrika Utara (Maroko, Aljazair, Sudan, Somalia, Ethiopia).

Mereka berimigrasi ke Eropa karena dua alasan pokok: ekonomi--mencari penghidupan yang lebih baik--dan politik--menghindari rezim despotik. Ketika survei demografi dilakukan pada awal abad ke-21, jumlah kaum Muslim di Eropa Barat sudah mencapai sekitar 17 juta jiwa yang mayoritas tersebar di Prancis (5 juta), Jerman (4 juta), Inggris (2 juta), dan sisanya bermukim di Belanda, Italia, Swedia, Finlandia, Belgia, dan Denmark.

Jumlah penduduk Muslim di Eropa tumbuh pesat. Selain karena gelombang imigrasi yang terus berkesinambungan, juga lantaran pertumbuhan demografi yang berlangsung alamiah melalui proses kelahiran.

Tidak seperti orang Eropa asli yang umumnya berkeluarga kecil dengan hanya satu atau dua anak, Muslim tak membatasi jumlah anak sehingga pertumbuhan populasi mereka amat cepat. Melihat gejala demikian, sarjana Barat menulis, Muslim culture is unusually full of messages laying out the practical advantages of procreation.

Maka, sangat mungkin populasi bangsa Eropa akan terus menyusut, mengalami demographic shrinkrage yang disebabkan oleh tingkat kelahiran amat rendah. Selain itu, perbandingan tingkat kematian dan kelahiran di kalangan penduduk imigran juga sangat mencolok. Misalnya, di Italia bagian utara sebesar 0,2 persen dan 25 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement