Ahad 31 May 2020 06:49 WIB

Soal New Normal, Epidemiolog: Jangan Hanya Satu Indikator

New normal tidak bisa gegabah diberlakukan menyusul tahapan dan kriteria berbeda.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Agus Yulianto
New Normal di sekolah (Ilustrasi)
Foto: Republika
New Normal di sekolah (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith di Australia, Dicky Budiman meminta, pemerintah untuk tidak melihat satu indikator saja dalam menerapkan new normal atau normal baru. Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan dengan matang menyoal normal baru tersebut.

"Harus dipertimbangakan dengan matang karena kondisi disetiap daerah berbeda sehingga tidak bisa mengandalkan satu indikator saja," kata Dicky Budiman di Jakarta, Jumat (29/5).

Dia mengatakan, normal baru tidak bisa gegabah diberlakukan menyusul tahapan dan kriteria berbeda untuk setiap institusi dan daerah yang harus dilakukan. Lanjutnya, terlebih bagi loikasi-lokasi wisata atau yang sifatnya melibatkan banyak masyarakat dalam sebuah aktivitas.

Pemerintah Indonesia diketahui berniat melakukan pelonggaran Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB). Hal tersebut menyusul mencuatnya wacana kehidupan normal baru bagi seluruh masyarakat Indonesia. Namun, tatanan kehidupan baru tersebut rencananaya akan dilakukan jika tingat reporduksi virus di bawah 1.

Pemerintah sejauh ini akan menerapkan kehidupan baru tersebut di empat provinsi yakni Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Gorontalo. Hal serupa juga akan dilakukan di 25 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Dicky mengatakan, secara umum kondisi DKI Jakarta saat ini cenderung lebih terkendali dengan tingkat reporduksi kasus berada di bawah 1 atau R<1. Menurutnya, hal tersebut berkat beberapa penerapan intervensi tidak hanya PSBB tetapi cakupan testing tertinggi di banding daerah lain.

Dia meminta, pemerintah untuk tidak memberlakukan new normal di daerah yang tingkat testingnya masih rendah. Dia mengatakan, rendahnya tingkat testing harus disikapi serius karena akan menuju pada tahapan yang sulit mengendalikan penyebaran virus.

"Daerah cakupan testing rendah apalagi dengan positif rate yang tinggi ini jangan juga berpikir dulu masalah untuk memberlakukan new normal," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement