Ahad 31 May 2020 18:00 WIB

Khatib-khatib Dadakan

Idul FItri di masa pandemi 'memaksa' seseorang menjadi imam dan khatib.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Muhammad Hafil
Khatib-khatib Dadakan. Foto ilustrasi: Umat Islam melaksanakan shalat Idul Fitri 1441 Hijriah di lantai atas indekos kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, Minggu (24/5/2020). Shalat Idul Fitri 1441 Hijriah berjemaah yang dilakukan di rumah dengan jumlah yang terbatas tersebut sesuai imbauan pemerintah guna mencegah penyebaran COVID-19 dan memaksimalkan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
Foto: ANTARA FOTO
Khatib-khatib Dadakan. Foto ilustrasi: Umat Islam melaksanakan shalat Idul Fitri 1441 Hijriah di lantai atas indekos kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, Minggu (24/5/2020). Shalat Idul Fitri 1441 Hijriah berjemaah yang dilakukan di rumah dengan jumlah yang terbatas tersebut sesuai imbauan pemerintah guna mencegah penyebaran COVID-19 dan memaksimalkan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perayaan 1 Syawal tahun ini harus dirayakan dengan cara berbeda. Pandemi virus corona memaksa sholat Id yang menandai berakhirnya ibadah puasa Ramadhan, harus dikerjakan mandiri.

Jika biasanya sholat sunnah itu dikerjakan berjamaan di masjid atau lapangan, maka, kini dilakukan di rumah masing-masing. Kemudian, muncul imam dan khatib dadakan.

Baca Juga

Memikirkan menjadi imam dan memberi khutbah, ternyata membuat ahli embriologi Harris Harlianto begadang semalaman. Dia dan empat anggota keluarganya melaksanakan sholat Id di rumah.

“Istri wanti-wanti harus bisa ya, kasih contoh ke anak kan. Seumur-umur baru sekali kita sholat Id di rumah,” kata Harris kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Sejujurnya, anjuran salat Id di rumah membuatnya pusing, terutama menyiapkan materi khutbah. Dia tak ingin materi khutbah membuat anak-anaknya jenuh dan tak betah. Karena itu, dia mengangkat tema ringan saja, asalkan syarat khutbah terpenuhi.

Sebenarnya, Harris mengatakan banyak contekan khutbah di Google. Dia mengambil salah satu materi yang pernah disampaikan Ustaz Abdul Somad (UAS) ihwal tujuan berpuasa untuk takwa. Kemudian, dia menjabarkan apa saja takwa itu.

“Saya catat pointer-nya. Kebanyakan kan nyontek di hp (telepon genggam),” ujar Kepala Lab IVF Bandung Fertility Center itu.

Harris menyampaikan khutbah sekitar lima menit. Karena berpikir peristiwa itu sebagai sejarah, dia dan keluarga sempat mengabadikannya sebagai kenang-kenangan. Saat menjadi imam, Harris tidak grogi karena hanya memimpin anak-anaknya.

“Sambil begadang saya siapin. Isinya singkat, padat, semua terpenuhi, anak nggak kelamaan,” kata dia.

Terbiasa berbicara di forum, Harris mengatakan tak ada bedanya menjadi imam dan khatib salad Id di rumah. Yang penting, ada persiapan saja. Pun sudah banyak referensi yang bisa menjadi acuan.

“Mungkin secara moral dengan kelakuan saya sehari-hari harus nyambung, beratnya di situ kalau khutbah, bedanya dengan kasih materi,” ujar dia.

Penulis dan editor Hawe Setiawan menganggap pengalaman sholat Id di rumah menjadi hari yang hebat. Baru kali pertama dirinya menyampaikan khutbah salat Id.

Ngajar di kelas sih biasa. Ngoceh di seminar sering. Tapi khutbah? Khutbah Idul Fitri pula? Di depan keluarga lagi? Mati aku,” cerita Hawe dalam akun media sosialnya.

Anjuran sholat Id di rumah melemparkan fakta bahwa agama kembali ke ruang-ruang pribadi. Meskipun ratusan takbir tetap dipanjatkan di alun-alun, tetapi ruangannya bergeser ke ruang keluarga, di antara televisi, meja-kursi, dan beberapa lemari.

“Walhasil, jadi suami dan jadi ayah sekarang berarti jadi menyampaikan khutbah,” kata dia.

Dia mengatakan tak ada masalah dengan jumlah jamaahnya. Jumlahnya sudah sesuai dengan surat edaran Majelis Ulama Indonesia (MUI), yakni minimal ada empat orang, satu di antaranya menjadi imam. Terkait protokol peribadatan, Hawe cukup mudah menghapalkannya, dua rakaat, takbirnya ada tujuh dan dua. Ide khutbah didapatkan saat membuat ketupat pada malam sebelum hari H.

“Yang jadi soal, itu dia, khutbahnya. Apa akal biar tidak kayak template? Untung ada dangding-dangding Haji Hasan Mustapa.  Bagaimana mungkin kita bisa ‘sampai’ (nepi) ke titik ‘sebelum berangkat’ (méméh indit),” ujar dia.

Lupakan mistar, pikir Hawe, lihatlah lingkaran. Titik akhir, itu titik awal juga. Mungkin itu yang dimaksud dengan “Idul Fitri” pikirnya.

“Kita kembali ke semula jadi, ke saat-saat ketika segalanya belum berlebihan. Kita selalu mendapat kesempatan buat kembali, memulai lagi, memperbaharui diri,” kata Hawe.

Sastrawan Akmal Nasery Basral mengatakan 10 hari sebelum hari raya Idul Fitri, dirinya masih terjadwal sebagai khatib dan imam di Masjid Nurul Islam, Cikarang. Namun, tempat tinggalnya yang masuk zona merah membuat salat Id harus dilaksanakan di rumah masing-masing.

Kemudian, dirinya dan keluarga memutuskan melaksanakan sholat Id di rumah. Pada malam Ramadhan terakhir, Akmal dan keluarga juga melaksanakan takbiran di rumah. Keesokan hari setelah salat Subuh, dia menyiapkan segala hal untuk salat Id.

“Kita bahas malemnya sama kayak anjuan pemerintah. Takbiran 06.30 WIB, jam 07.00 WIb kurang dikit sholat,” kata Akmal.

Untuk khutbah, dia membuat durasi tak seperti di lapangan. Jika biasanya khutbah selama 30 menit, kemarin hanya 15 menit. Pertama, isinya bersyukur kepada Allah SWT masih diberi umur, rezeki, kesehatan sampai bisa melaksanakan sholat Id. Kedua, pendemi tetap membuat keluarganya istiqomah beribadah dan berkumpul bersama. Ketiga, meyakini bahwa dibalik semua musibah pasti ada hikmahnya. Keempat, mengingatka bahwa Allah SWT menjanjikan sesudah kesulitan pasti ada kemudahan.

“Kesimpulan saya, tetep harus bersyukur di keluarga besar ini tak ada yang jadi ODP dan PDP, banyak orang kehilangan pekerjaan, sebagai pengingat kondisi saat ini harus mengingat keimanan kita,” ujar Akmal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement