Rabu 03 Jun 2020 22:38 WIB

Kapan Orang Nusantara Mulai Naik Haji? (1)

Orang Nusantara yang naik haji pernah dicatat oleh misionaris.

Rep: M Subarkah/ Red: Muhammad Hafil
Kapan Orang Nusantara Mulai Naik Haji? (1). Foto: Jamaah haji tempo dulu menggunakan angkutan kapal laut (ilustrasi).
Foto: wordpress.com
Kapan Orang Nusantara Mulai Naik Haji? (1). Foto: Jamaah haji tempo dulu menggunakan angkutan kapal laut (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Subarkah / Wartawan Republika

 

Baca Juga

Kapan orang dari Indonesia atau nusantara pergi ke Tanah Suci untuk naik haji? Jawabnya, memang tidak ada yang pasti. Sebab, catatan persis mengenai hal ini tidak pernah ada. Ini disadari karena pada saat itu lalu lintas manusia antarnegara dan kawasan tidak seketat sekarang.

Namun, yang pasti dalam catatan penyebar ajaran Kristen legendaris di Indonesia, Franciscus Xaverius, dalam catatannya yang ditulis pada Mei 1546 dia menyebutkan ketika sampai di kawasan Maluku pada saat itu agama Islam telah tersebar kokoh. Dan, para penyebarnya adalah para ‘haji’ atau orang-orang yang datang langsung dari Makkah. Bahkan, dia memperkirakan 100 tahun sebelumnya Islam telah eksis di sana.

Kenyataan ini bersesuaian dengan analisis Azyumardi Azra (buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII). Dia menyatakan kebangkitan beberapa kerajaan Muslim di nusantara sejak abad ke-13, tak ragu lagi, menciptakan momentum baru hubunganhubungan politik antara Timur Tengah dan nusantara. Bahkan, mulai seabad sebelumnya, yakni pada abad ke-12, para Muslim Arab dan Persia yang saat itu datang ke nusantara untuk sekadar berdagang, saat itu mulai memberikan perhatian khusus pada usaha penyebaran agama Islam. Dengan demikian, masuk akal bila saat itu sudah mulai ada orang nusantara yang pergi haji ke Makkah.

Tak jauh berbeda, bila kemudian mengacu pada fakta sejarah perkembangan Islam di Jawa yang ditulis sejarawan Belanda, HJ De Graaf dan TH Pigeaud, mereka menyatakan bahwa perhatian orang Jawa terhadap sosok haji sudah mulai tampak semenjak awal tahun 1500-an. Saat itu ada catatan pelaut pengelana sekaligus penulis Portugis, Mendez Pinto, perihal pengangkatan Sunan Kudus oleh Syekh Nurullah (De Graaf mengakui nama ini kemudian berubah menjadi Sunan Gunung Kudus) sebagai imam yang kelima masjid Demak.

Saat itu posisi Syekh Nurullah adalah figur yang sangat dihormati. Selain akibat kedalaman ilmunya, dia juga dihormati karena pernah pergi haji ke Makkah. Apalagi, orang Jawa pun paham, pada kala itu untuk pergi ke Tanah Suci jelas tidak bisa dilakukan orang sembarangan mengingat buruknya sarana perhubungan. Lebih unik lagi, bila dilacak lagi kedatangan Syekh Nurullah ke Tanah Suci waktunya bersamaan dengan keberhasilan Turki di bawah Sultan Salim I merebut Mesir. Untuk itu dia dipastikan mendengar bila kemudian Sultan Salim mengangkat dirinya sebagai khalifah.

Nah, atas pengalaman itulah maka Syekh Nurullah kemudian menganjurkan kepada Raja Demak untuk bertingkah laku sebagai raja Islam yang benar. Dan, sejak itu mulai dipakailah gelar dan nama berahasa Arab dalam jabatan raja di Jawa. Hal inilah yang kemudian salah satu menjadi penanda era internasionalisasi Islam di Jawa secara lebih konkret lagi.

Salah satu catatan mengenai perjalanan orang nusantara ke Makkah di masa lalu adalah saat Pangeran Rangsang atau Sultan Agung menduduki jabatan raja Mataram menggantikan Pa -nem bahan Se nopati. Saat itu gelar berbahasa Arab, seperti Sultan, Kalifatullah, dan Sayid, ditambahkan dalam gelar raja. Fenomena ini terjadi sebagai peristiwa lanjutan ketika pada 1641 Pangeran Rangsang mengirimkan delegasi ke Makkah. Para duta Mataram ini menum pang kapal Inggris ke Surat, India; dan dari sana dengan kapal Muslim menuju Jeddah. Setelah sampai, utusan itu pun menemui Syarif Makkah yang kemudian memberikan gelar Sultan kepada Pangeran Rangsang selaku raja Mataram.

Atas pemberian gelar Sultan dari penguasa Haramain itu, Sultan Agung merasa sangat bersyukur. Pada tahun berikutnya ia kembali mengirimkan sekelompok orang Jawa untuk memberi hadiah kepada Sya rif Makkah dan menunaikan ibadah haji atas namanya. Tapi, malang utusan itu tak sampai ke Makkah karena kapalnya dihadang dan diserang angkat an laut Belanda di lepas pantai Batavia. Hanya satu orang ang gota delegasi yang selamat dan dikirim kem bali oleh Belanda ke Mataram. Ia dipesankan menyampai kan persyaratan yang ditentukan Belanda bagi pelayaran jamaah haji Jawa melalui lepas pantai Batavia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement