Ahad 07 Jun 2020 21:28 WIB

Praktisi: Kehalalan Subsidi Haji Tanya MUI

Jamaah haji tunggu mensubsidi biaya jamaah haji yang berangkat.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Fakhruddin
Praktisi: Kehalalan Subsidi Haji Tanya MUI. Foto: Suasana Masjidil Haram yang sepi akibat pandemi Corona.
Foto: anadolu agency
Praktisi: Kehalalan Subsidi Haji Tanya MUI. Foto: Suasana Masjidil Haram yang sepi akibat pandemi Corona.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Praktisi Haji dan Umrah Asrul Azis Taba enggan mengomentari apakah subsidi diterima jamaah haji berangkat tahu berjalan tidak halal. Keraguan halal tidaknya subsidi itu disampaikan Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj. 

"Halal atau tidaknya mungkin baik ditanyakan kepada MUI," kata Asrul saat dihubungi, Jumat (5/6).

Sebelumnya Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj mengatakan, banyak yang belum mengetahui bawah subsidi yang jamaah haji terima diragukan kehalalannya. Karenan selama ini subsidi diterima jamaah yang berangkat tahun berjalan diambil dari jamaah waiting list.

"Bukankah model subsidi semacam ini berpotensi melanggar aturan syariah," kata Mustolih kepada Republika.co.id, Kamis (4/6).

 

Menurutnya, prinsip kehati-hatian dalam mengelola keuangan haji, belum dilakukan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Karena sejak dibentuknya, BPKH belum membuat terobosan yang dapat menghapus skema ponzi dalam sistem antrian keberangkatan jamaah haji.

"Belum ada terobosan berarti BPKH, utamanya atas kebijakan investasi dari dana haji yang dapat memperoleh hasil secara signifikan dan memuaskan," ujarnya.

Sistem ini juga kata dia, selain tidak menjalankan prinsip kehati-hatian, juga tidak menjalankan prinsip mampu atau istithaah. Baik mampu secara kesehatan maupun ekonomi yang sudah jelas Istithaah ini merupakan bagian dari rukun Islam kelima yakni naik haji jika mampu. "Karena syarat berangkat haji adalah bagi yang mampu, bukan yang disubsidi," katanya.

Menurutnya hal ini kedepannya pasti akan memunculkan ketidakadilan, dalam penyelenggaraan ibadah haji, terutama bagi jamaah haji yang belum berangkat. Untuk itu BPKH harus dapat menghapuskan sistem ketidakadilan antar jamaah haji.

"Sebagai catatan, yang tidak banyak diketahui publik, hasil investasi dana haji ternyata sebagian besar digunakan untuk mensubsidi penyelengaraan haji yang digelar setiap tahunnya," katanya.

Ia mengatakan, biaya haji jamaah Indonesia sesungguhnya Rp 70 juta perorang. Akan tetapi yang dibayar oleh jamaah pada tahun berjalan ini sampai pelunasan yang berangkat ke tanah suci hanya setengahnya. " Yakni dikisaran Rp 35 juta perorang," katanya. 

Dengan kata lain, jamaah haji tunggu mensubsidi biaya jamaah haji yang berangkat. Padahal model subsidi semacam ini berpotensi melanggar aturan syariah, karena syarat berangkat haji adalah bagi yang mampu. Maka manakala biaya haji jamaah Indonesia dinarasikan sebagai termurah diantara negara-negara lain sebenarnya sangatlah tidak tepat. "Ternyata murah karena ada subsidi," katanya.   

Karena itu kata dia, belum terlambat bagi BPKH untuk menata lembaganya agar menjalankan asas transparansi dan profesionalismenya, sehingga mendapat simpati dan kepercayaan publik. Selain itu BPKH dapat memberikan keadilan bagi jutaan calon jamaah yang menitipkan uangnya. 

"Tanpa transparansi yang terukur sangat sulit BPKH menjadi lembaga yang dipercaya publik," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement