Selasa 09 Jun 2020 00:55 WIB

Komnas Prediksi Sistem Haji akan Jadi 'Bom Waktu'

Sistem subsidi jika tidak segera dibenahi sangat berbahaya dan bisa menjadi bom waktu

Rep: Ali Yusuf/ Red: Agus Yulianto
Mustolih Siradj Ketua Komnas Haji dan Umrah, Dosen Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Foto: Republika/Idealisa Masyrafina
Mustolih Siradj Ketua Komnas Haji dan Umrah, Dosen Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj mengatakan selama ini Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Kemenag bahkan DPR selalu menyampaikan biaya haji Indonesia paling murah di dunia. Padahal kemurahan itu setelah disubsidi dari nilai manfaat dan uang jamaah yang belum berangkat.

"BPKH, Kemenag dan DPR selalu menarasikan dengan begitu meyakinkan bahwa biaya haji di Indonesia paling murah diantara negara-negara lain. Nyatanya klaim tersebut tidak sepenuhnya benar,"  kata Mustolih kepada Republika, Senin (8/6).

Ia menuturkan, dalam tiga tahun terakhir biaya haji nyaris tidak pernah naik, rerata berada di kisaran Rp 35 juta per jamaah. Padahal, biaya sesungguhnya (real cost) yang harus dibayar untuk berbagai keperluan penyelanggaran haji Rp 70 juta  perjamaah. "Karena separuhnya adalah subsidi, katanya.

Lalu dari mana uang subsidi itu? Kata dia, subsidi diambil dari nilai manfaat pengelolaan setoran awal calon jamaah haji yang masuk daftar tunggu (waiting list) yang disetorkan ke BPKH sebesar Rp 25 juta perjamaah melalui akad wakalah. Dari 4,3 juta calon jamaah yang saat ini antri, terakumulasi dana Rp 135 trilyun ditambah Rp. 3,5 triltun Dana Abadi Ummat (DAU). 

 

Dana ini dikelola dan diinvenstasikan oleh BPKH sebagai penerima wakalah ke berbagai instrumen investasi, baik bank maupun non bank dengan pendekatan korporatif. Hasil investasi tersebut kemudian diperuntukkan mensubsidi biaya penyelenggaraan ibadah haji setiap tahun. 

Dengan kata lain, jamaah yang berangkat haji pada tahun berjalan sesungguhnya bukan semata- semata hasil jerih payah dan kemampuan (istitha’ah) dari jemaah itu sendiri (yang berangkat), tetapi separuh dananya ditambal dari dana milik jemaah lainnya yang diperoleh dari hasil investasi. 

Hasil manfaat yang diperoleh dari investasi pengelolaan dana haji juga disalurkan untuk keperluan lain misalnya membayar pajak yang jumlahnya tidak kecil. 

Berdasarkan laporan BPKH tahun 2018 pajak yang dibayar sebesar Rp 1,2 trilyun, berikutnya membiayai operasional dan gaji staf maupun pimpinan BPKH yang bisa menyedot sampai 5 persen dari hasil investasi yang diperoleh, baru sisanya dipecah-pecah diberikan kepada pemilik dana (shahibul maal) yakni seluruh calon jamaah haji (tunggu) yang jumlahnya sangat kecil di kisaran rerata Rp. 60 ribu  Rp. 100 ribu pertahun. 

"Bandingkan dengan subsidi kepada jamaah yang berangkat pada tahun berjalan Rp. 35 juta perorang setiap tahun," katanya.

Sistem subsidi ini kata dia, jika tidak segera dibenahi sangat berbahaya dan bisa menjadi bom waktu di kemudian hari. Terlebih di saat seperti sekarang manakala berbagai skema maupun instrumen investasi dan keuangan domestik maupun global tengah dibayang-bayangi cengkraman resesi akibat dihantam pandemi Covid-19.

"Sehingg memiliki risiko sangat tinggi dalam investasi," katanya.

Kata dia, jika ternyata investasi yang dilakukan BPKH jeblok dan tidak memperoleh keuntungan maka yang akan tergerus dan menjadi taruhan adalah uang setoran pokok jamaah. Padahal, pada saat yang sama BPKH harus terus menerus subsidi penyelenggaran haji setiap tahunnya. 

"Maka calon jamaah bukannya mendapat untung malah bisa buntung alias rugi. Padahal, dana setoran awal calon jemaah tidak boleh berkurang apalagi rugi," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement