Senin 08 Jun 2020 21:30 WIB

“Berhaji” di Musim Covid-19

Islam selalu mengkoneksikan antara ritualitas ibadah dengan solidaritas sosial.

Red: A.Syalaby Ichsan
Dr Suwendi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Dr Suwendi

 

Oleh Dr. Suwendi, M.Ag

Alumni Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon dan Pesantren Sabilussalam, Ciputat. Pendiri Pesantren Nahdlah Bahriyah Cantigi, Indramayu. 

IHRAM.CO.ID, Salah satu karya menarik yang menyajikan kisah penuh makna adalah kitab an-Nawadir yang dianggit oleh Syaikh Syihabuddin Ahmad bin Salamah al-Hufi al-Qalyubi, seorang ulama dari Negeri Seribu Nabi, Mesir. Memang, kisah memiliki hikmah, dan setiap hikmah membawa berkah. Membaca kitab ini seakan membawa kita pada dimensi di mana kisah itu terjadi.

“Goresannya yang sederhana, mampu menyiratkan kisah penuh makna. Mencubit, tanpa menimbulkan luka. Menyisakan keteduhan rasa”, demikianlah salah satu komentar atas karya yang secara etimologis memiliki makna langka atau anekdot, an-Nawadir.

Salah satu kisah menarik dalam kitab itu adalah mengenai kisah berhaji ala sosok ulama yang bernama Abdullah bin Mubarak. Diceritakan, dalam masa perjalanan ibadah hajinya menuju tanah suci, Abdullah bin Mubarak harus rela terhenti hingga di kota Kufah, Iraq, tidak sampai ke tanah suci, Mekkah. Pasalnya, ketika sampai di kota Kufah, ia melihat seorang perempuan dan keluarganya yang sedang kelaparan hingga bangkai itikpun dimakannya.

Ketika dikonfirmasi oleh Abdullah bin Mubarak, sang perempuan menjawabnya: “Aku memiliki beberapa anak. Selama tiga hari ini, aku tidak memiliki makanan untuk menghidupi mereka.” Mendengar jawaban ini, hati sang Abdullah bin Mubarak bergetar, menangis, dan kesadaran solidaritas yang sesungguhnya muncul, sehingga perbekalan yang dibawa menuju ke tanah suci itu diberikan kepada sang perempuan tersebut. Abdullah bin Mubarak kemudian memutuskan untuk membatalkan perjalanan ibadah hajinya, yang memang telah lama dinantinya itu. 

Namun, apa yang terjadi ketika Abdullah bin Mubarak kembali ke tanah airnya? Sejumlah kesaksian dari rombongan jamaah haji menyuguhkan berbagai cerita. Ada yang menyatakan ia benar-benar menemui Abdullah bin Mubarak saat di Arafah. Ada yang mengetahui bahwa Abdullah bin Mubarak telah membagikan air minum dan bekalnya kepada jamaah haji yang lain; serta sejumlah pengakuan lainnya yang menyatakan pertemuannya dengan Abdullah bin Mubarak di tanah suci selama ibadah haji.

Akhirnya, dalam sebuah mimpi, sang Abdullah bin Mubarak melihat secara jelas bahwa amal sedekah yang diberikan kepada sosok perempuan di Kufah itu telah diganti oleh Allah SWT dengan mengutus malaikat yang menyerupai sosok dirinya dan menggantinya menunaikan ibadah haji.

Kisah ini sungguh penuh makna dan dapat dijadikan pelajaran bagi umat Islam Indonesia, terutama para calon jamaah haji yang batal pemberangkatannya di musim haji tahun 1441 H/2020 M. Sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Yusuf: 11). Artinya, kisah yang sangat mengesankan ini perlu untuk difikirkan dan dijadikan alternatif, agar nilai dari ibadah haji tetap kita peroleh, meski secara fisik kita tidak dapat menunaikannya ke tanah suci. 

Pembatalan haji telah diputuskan, melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 494 tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1441H/2020 M, yang ditandatangani tanggal 2 Juni 2020. Sejumlah argumen akademis terkait pembatalan haji ini telah diuraikan oleh banyak pihak, termasuk dalam tulisan ciamik yang ditulis oleh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Mesraini, pada portal www.kemenag.go.id dengan judul “Argumen Pembatalan Haji”.

Pelaksanaan ibadah haji secara formal-fiqhiyah memang sudah sama sekali tidak dapat dilaksanakan. Namun, bagi sebagian orang yang ingin memperoleh bagaimana nilai dari ibadah haji yang secara substantif dapat dicapai tampaknya masih sangat terbuka. Alternatif ini patut diketengahkan, terutama bagi para jamaah haji yang secara fisik memang sudah tidak memungkinkan untuk berangkat ke tanah suci, dan/atau bagi sebagian masayarakat yang telah lebih satu kali melaksanakan ibadah haji. Oleh karenanya, cara “berhaji” ala Abdullah bin Mubarak patut untuk dipertimbangkan.

photo
Jamaah haji gagal berangkat (Ilustrasi) - (Republika)

Di tengah musim pandemi Covid-19 di Indonesia saat ini, lonjakan kemiskinan cukup tinggi. Hingga pertengahan akhir April 2020, dinyatakan terdapat sekitar 3,78 juta orang berpotensi menjadi miskin, 5,2 juta jiwa akan menjadi pengangguran, dan tingkat pendapatan domestik bruto (PDB) secara nasional pun terancam mengalami penurunan yang signifikan hingga di tingkat minus. Ini artinya, bahwa saat ini perlu dilakukan kesadaran untuk membangun solidaritas sosial agar sesama muslim dan anak bangsa dapat bertahan untuk hidup di tengah situasi sulit.

Ajaran Islam adalah ajaran yang berorientasi pada kemaslahan kemanusiaan. Islam hadir untuk memberikan jawaban atas problematika kemanusiaan itu. Hampir dalam setiap ajarannya, Islam selalu mengkoneksikan antara ritualitas ibadah dengan solidaritas sosial. Hampir seluruh ajaran yang bernuansa ritualitas mahdlah yang menjadi ciri kesalehan individual, seperti shalat, puasa, dan haji, tidak pernah lepas dari pesan-pesan solidaritas dan kemanusiaan, sebagai bagian dari kesalehan sosial. Bahkan, sebuah hadits Nabi menyatakan “Tidaklah beriman kepadaku orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan sampai ke lambungnya. Padahal, ia mengetahuinya.”

Demikian juga dalam konteks untuk menjadi haji mabrur, kepedulian sosial menjadi syarat utama. Nabi Muhammad SAW pernah menyampaikan bahwa di antara ciri kemabruran haji adalah “ith’am al-tha’am wa afsyus salam”, memberi makan kepada orang lain sebagai wujud kepedulian dan menebarkan kedamaian. Ini artinya kemabruran haji itu ternyata bukan ditentukan di saat yang bersangkutan berada di tanah suci, tetapi diimplementasikan di tanah air. Memahami ini, kondisi wabah Covid-19 merupakan peluang yang demikian terbuka bagi kaum muslim yang pernah beribadah haji agar ia dapat meraih haji mabrur. 

Di sisi laiu, kemabruran haji sama sekali tidak sebabkan karena berulangnya melaksanakan ibadah haji. Secara fiqhiyah, ibadah haji hanya diwajibkan satu kali selama masa hidup. Pelaksanaan ibadah haji kedua dan seterusnya bernilai ibadah sunah, yang jika ditinggalkan tidak berdosa. Jika berkaca pada apa yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, beliau melaksanakan ibadah haji hanyalah satu kali selama hidupnya, yakni di tahun ke-10 hijriyah saat haji wada’. Sementara, menurut sebagai ulama, haji telah ditetapkan pada beberapa tahun sebelumnya. Artinya, terdapat beberapa kali kesempatan untuk menunaikan ibadah haji, namun Rasulallah melakukannya hanya satu kali saja.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah ra. “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah tinggal di Madinah selama sembilan tahun, namun beliau belum berhaji. Kemudian pada tahun kesepuluh beliau mengumumkan bahwa beliau akan berhaji, sehingga banyak orang yang hadir ke Madinah yang kesemuanya ingin turut serta bersama Rasulullah SAW dan melakukan amal ibadah seperti beliau.” (HR. Muslim). 

Berdasarkan penjelasan ini, tentu kita perlu berfikir untuk menjalankan ajaran Islam dengan sebaiknya, terutama melaksanakan ibadah haji di saat pandemic covid-19 ini. Bagi calon jamaah haji telah mendaftar dan ini merupakan pengulangan ibadah hajinya, demikian juga bagi calon jamaah yang secara fisik tidak memungkinkan lagi melakukan perjalanan hajinya, maka sudah saatnya untuk menunaikan ibadah haji secara substantif, yakni membangun solidaritas kepada sesama yang disertai dengan menebarkan kedamaian. 

Tulisan ini memberikan perspektif kepada masyarakat agar memahami agama tidak hanya secara formalistik-fiqhiyah semata, tetapi juga perlu mengetahui dan mengamalkan dengan pendekatan substansialistik. Pendekatan substansialistik ini juga merupakan bagian dari cara memahami dalam beragama. Dalam konteks ibadah haji musim tahun 2020  yang telah dibatalkan oleh pemerintah, jamaah haji tetap dapat melaksanakan ajaran Islam dalam wujud peningkatan solidaritas sosial, yang sesunggunya memiliki makna substansinya dan nilai dari ibadah haji itu sendiri. Bahkan, untuk meraih kemabruran haji bagi yang telah melaksanakan ibadah haji, tidak ada cara lain kecuali meningkatkan kepedulian dan solidaritas ini sebagai bagian dari wujud kesalehan sosial. Dengan membaca artikel ini, para pembaca, khususnya calon jemaah haji yang dinyatakan gagal berangkat dan muslim yang telah berhaji, terdorong untuk menunaikan “ibadah haji” di musim Covid-19 dengan “cara lain” tetapi tidak mengurangi dari nilai haji sendiri, yakni kepedulian sosial. 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement