Rabu 10 Jun 2020 14:50 WIB

Benarkah Erdogan Mempolitisasi Hagia Sophia?

Pernyataan Istanbul sebagai buah pendudukan Ottoman memicu kontroversi.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Teguh Firmansyah
Hagia Sophia, Istanbul, Turki.
Foto: Wikimedia
Hagia Sophia, Istanbul, Turki.

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Badan Islam terkemuka Mesir, Dar al-Ifta Mesir sempat memicu kontroversi setelah menggambarkan langkah Ottoman (Utsmani) merebut Istanbul sebagai pendudukan, alih-alih menggunakan kata penaklukan. Pernyataan ini pun akhirnya diralat setelah kontroversi dan kritik bermunculan.

"Hagia Sophia (di Istanbul) dibangun sebagai sebuah gereja selama periode Byzantium pada tahun 537, dan tetap selama 916 tahun sampai Ottoman menduduki Istanbul pada tahun 1453, mengubah bangunan menjadi masjid," ujar otoritas yang mengeluarkan putusan agama pimpinan Grand Mufti Shawki Allam pada Ahad (7/6).

Baca Juga

Setelah pernyataan itu, sehari berikutnya, badan ini mengeluarkan pernyataan lanjutan yang menyatakan sejarah tersebut bukan pendudukan. Mereka mengganti istilah itu dengan menyatakan "penaklukan besar Islam".

Pernyataan pertama yang diralat sempat ditanggapi oleh imam dan mantan anggota Dewan Syura Mesir, Sheikh Muhammad al-Sagheer. "Kekeliruan besar dalam pernyataan ini adalah deskripsi penaklukan Konstantinopel sebagai pendudukan," ujarnya melalui Twitter.

Dikutip dari MiddleEastEye, Sagheer mengutip hadis-hadis yang terkenal di kalangan masyarakat Turki dan melambangkan karisma penaklukan Mehmet II. Dia menyaatakn melalui kicauan Twitter "Sesungguhnya kamu akan menaklukkan Konstantinopel. Betapa dia akan menjadi pemimpin yang hebat, dan betapa hebatnya pasukan yang akan melakukannya!" dan "Pasukan pertama yang melakukan ekspedisi ke Konstantinopel akan dimaafkan."

Pada pernyataan pertama Ahad, Dar al-Ifta juga menilai Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan telah mempolitisasi agama. Endorgan dinilai menggunakan konversi Hagia Sophia menjadi masjid sebagai senjata pemilihan yang akan menarik perhatian publik kapanpun diperlukan.

Dar al-Ifta juga menyalahkan pemerintah Turki menggunakan fatwa untuk memperkuat kediktatoran Erdogan. "Presiden Turki menyewa masjid untuk mendapatkan dukungan dari blok pemilihan baru ketika popularitasnya menurun," kata pernyataan itu.

"Mengambil keuntungan dari retorika agama ... Erdogan bertujuan untuk mencapai stabilitas internal dan kemenangan atas lawan-lawan politiknya setelah pecahnya pandemi korona, pengangguran dan kemiskinan, dan kelelahan pasukannya dalam konflik eksternal," ujar pernyataan Dar al-Ifta.

Turki dan Mesir berselisih sejak kudeta militer 2013 yang menggulingkan presiden Mesir pertama yang terpilih secara demokratis, Muhammad Mursi yang juga anggota Ikhwanul Muslimin. Ankara juga belum mengirim seorang duta besar ke Kairo sejak Presiden Abdal-Fattah el-Sisi merebut kekuasaan.

Melihat hubungan dua negara yang tidak baik, pernyataan badan Islam Mesir ini dipandang sebagai perpanjangan dari kebijakan Sisi di Turki. Terlebih lagi kedua pemerintah itu saat ini mendukung pihak yang berseberangan dalam perang di Libya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement