Kamis 11 Jun 2020 19:53 WIB

PBNU Setuju Penetapan Produk Halal tak Dimonopoli Satu Ormas

Semua ormas yang berbadan hukum harus diperlakukan sama.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Muhammad Fakhruddin
PBNU Setuju Penetapan Produk Halal tak Dimonopoli Satu Ormas. Ilustrasi Omnibus Law Halal
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
PBNU Setuju Penetapan Produk Halal tak Dimonopoli Satu Ormas. Ilustrasi Omnibus Law Halal

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memberi masukan terkait pasal sertifikasi produk halal yang termuat dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja dalam rapat dengar pendapat bersama DPR RI, Kamis (11/6). PBNU menyetujui sejumlah hal, termasuk penetapan produk halal yang tak lagi hanya dilakukan oleh satu ormas Islam.

Wasekjen PBNU Andi Najmi Fuad dalam rapat tersebut menyampaikan, PBNU menyetujui penambahan ormas Islam berbadan hukum untuk bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dalam menentukan produk halal. "Dengan demikian tidak ada penentuan kehalalan suatu produk dari ormas tertentu," kata Andi Najmi membacakan pernyataan sikap MUI dalam rapat tersebut.

Dengan demikian, penetapan kehalalan suatu produk juga bisa dilakukan keagamaan kredibel yang terbukti mempunyai kapasitas mengeluarkan pernyataan keagamaan. Sebelumnya, dalam UU no. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, BPJPH bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) saja.

PBNU berpendapat, tidak perlu ada ormas Islam yang disebut secara eksplisit dalam kerja sama BPJPH dengan ormas Islam berbadan hukum. Najmi menyebut, semua ormas yang berbadan hukum harus diperlakukan sama di depan undang undang. "Sehingga tidak ada favoritism terhadap ormas tertentu seolah ormas tersebut dalam UU lebih unggul dari ormas lain," ujar dia.

Hal ini sempat dipersoalkan oleh MUI dalam rapat dengar pendapat. MUI menilai penetapan produk halal oleh berbagai ormas dapat menimbulkan pertanyaan soal kepastian hukum. Namun, PBNU menolak pandangan soal kepastian hukum itu. "PBNU menjawab tidak sama sekali," kata Najmi.

Ia menjelaskan, perbedaan halal adalah keputusan profesional sebuah lembaga yang tidak bisa dicampur lembaga yang lain. Menurut dia, keputusan ini menjadi sejenis putusan ijtihad yang tidak bisa dibatalkan ijtihad lain.

"Hal ini justru bisa membuka peluang bagi pelaku pasar untuk mendapatkan sertifikasi yang cepat karena tidak adanya monopoli," ujar Najmi.

Di samping penetapan produk halal, PBNU mendukung aspek dalam RUU Cipta Kerja yang memberikan kemudahan bagi pelaku usaha UMKM. Di samping itu, PBNU mendorong penetapan produk halal dengan batas batas yang jelas, sehingga tidak ada sertifikasi halal untuk benda yang tak sepatutnya mendapat keputusan halal, misalnya kulkas halal.

Untuk diketahui, dalam draf RUU Ciptaker, pemerintah menghapus otoritas tunggal MUI dalam penerbitan sertifikat halal. RUU Ciptaker mendefinisikan sertifikat halal sebagai pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal. Padahal sebelumnya, fatwa halal itu dikeluarkan oleh MUI.

Adapun Kerja sama BPJPH dengan ormas Islam diatur dalam Pasal 49 angka 3 RUU Ciptaker. Pasal ini bersinggungan dengan Pasal 7 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

Dalam pasal RUU Ciptaker tersebut, BPJPH dapat bekerja sama dengan ormas Islam yang berbadan hukum dalam menjalankan wewenang penyelenggaraan jaminan produk halal, termasuk menerbitkan dan mencabut sertifikat halal. Sebelumnya, kerja sama itu hanya berlaku BPJPH dengan kementerian/lembaga terkait, lembaga pemeriksa halal (LPH), dan MUI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement