Kamis 11 Jun 2020 20:10 WIB

Muhammadiyah Beri Tiga Alternatif Penetapan Produk Halal

Pengurusan sertifikasi produk halal menjadi terhambat di bidang birokrasi.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Muhammad Fakhruddin
Muhammadiyah Beri Tiga Alternatif Penetapan Produk Halal. Ilustrasi Sertifikasi Halal.
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Muhammadiyah Beri Tiga Alternatif Penetapan Produk Halal. Ilustrasi Sertifikasi Halal.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah turut memberikan masukan terkait penetapan produk halal dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja pada rapat dengar pendapat bersama DPR RI pada Kamis (11/6). Muhammadiyah memberikan tiga alternatif masukan.

Direktur Utama Lembaga Pemeriksa Halal dan Kajian Halal Thoyyiban (LPH-KHT) PP Muhammadiyah, Nadratuzzaman Hosen menyampaikan, masukan pertama adalah dengan mengembalikan pemberian sertifikasi halal pada masyarakat, dalam hal ini ormas.

Saat ini dalam UU Jaminan Produk Halal (JPH) maupun RUU Cipta Kerja, sertifikasi diberikan oleh pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Sedangkan ormas, yang menurut UU JPH adalah MUI bertugas memberi fatwa.

"Ini dari segi public administration dan negara modern ini kebalikkan. Biasanya dari pemerintah diserahkan ke masyarakat, ini dari masyarakat ditarik ke pemerintah," kata Hosen.

Akibatnya, kata Hosen, pengurusan sertifikasi produk halal menjadi terhambat di bidang birokrasi. Terjadi sentralisasi karena BPJPH belum menyebar ke seluruh wilayah. Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang menjadi kaki tangan BPJPH juga terbukti belum efektif.

"Kalau mau terus BPJPH menjadi lembaga sertifikasi, maka akan jadi cost center (pusat biaya)," ujar Hosen.

Hal ini, kata dia, justru menyalahi tujuan Omnibus Law yang ingin menyederhanakan dan mempermudah proses pemberian sertifikasi halal. Maka itu, skenario pertama yang ditawarkan adalah mengembalikan MUI sebagai lembaga sertifikasi.

Namun LPH dibuka seluas-luasnya untuk ormas melalui Undang-Undang. "Dengan cara begitu tetap akan jalan karena MUI sudah menjalani 30 tahun, kami dari Muhammadiyah siap jadi LPH-nya," jelas Hosen.

Hosen melanjutkan, skenario kedua adalah menjadikan LPH yang ada dan dibuka seluas-luasnya dengan undang-undang dijadikan lembaga sertifikasi. Namun, fatwa halalnya tetap di tangan MUI. "Dengan begitu LPH memberikan sertifikasi tapi fatwanya tetap di MUI," kta dia.

Adapun skenario ketiga, Muhammadiyah berpandangan, LPH bisa menjadi lembaga sertifikasi sekaligus memfatwakan. Muhammadiyah pun menyatakan siap dengan dua tugas tersebut. Namun, kata Hosen, fatwanya harus berdasarkan kriteria standar yang dibuat oleh MUI.

"Ini saya analogikan seperti MUI memberikan pengakuan ke Luar Negeri harus mengikuti fatwa standar MUI. Kalau dilakukan, sama," ujar Hosen menambahkan.

Untuk diketahui, dalam draf RUU Ciptaker, pemerintah menghapus otoritas tunggal MUI dalam penerbitan sertifikat halal. RUU Ciptaker mendefinisikan sertifikat halal sebagai pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal. Padahal sebelumnya, fatwa halal itu dikeluarkan oleh MUI.

Adapun Kerja sama BPJPH dengan ormas Islam diatur dalam Pasal 49 angka 3 RUU Ciptaker. Pasal ini bersinggungan dengan Pasal 7 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

Dalam pasal RUU Ciptaker tersebut, BPJPH dapat bekerja sama dengan ormas Islam yang berbadan hukum dalam menjalankan wewenang penyelenggaraan jaminan produk halal, termasuk menerbitkan dan mencabut sertifikat halal. Sebelumnya, kerja sama itu hanya berlaku BPJPH dengan kementerian/lembaga terkait, lembaga pemeriksa halal (LPH), dan MUI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement