Jumat 12 Jun 2020 21:24 WIB

WNI di Malaysia Tanggapi Beragam Larangan Sholat Jumat WNA

KBRI Kuala Lumpur hanya membuka sholat Jumat untuk pegawai kedutaan

Umat Muslim mengenakan masker dan menerapkan jarak sosial berdoa di dalam Masjid Nasional, Kuala Lumpur, Malaysia, Jumat (15/5). Malaysia melonggarkan aturan larangan sholat jamaahl di masjid-masjid saat pandemi virus corona
Foto: REUTERS / Lim Huey Teng
Umat Muslim mengenakan masker dan menerapkan jarak sosial berdoa di dalam Masjid Nasional, Kuala Lumpur, Malaysia, Jumat (15/5). Malaysia melonggarkan aturan larangan sholat jamaahl di masjid-masjid saat pandemi virus corona

REPUBLIKA.CO.ID,KUALA LUMPUR -- Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Malaysia mempunyai tanggapan yang beragam terkait larangan sholat Jumat di masjid bagi warga negara asing (WNA) karena keterbatasan jumlah jamaah dalam membendung pandemi Covid-19.

"Pada dasarnya kita sangat menghormati sekaligus mengagumi segala tindakan dan keputusan Pemerintah Malaysia terkait penanganan Covid-19 yang jelas terbukti sangat baik dan menunjukkan hasil yang juga sangat baik," ujar Penasehat Badan Perwakilan KNPI Malaysia, Khairul Hamzah di Kuala Lumpur, Jumat (12/6).

Sebagai WNI yang baik, ujar dia, pihaknya akan tunduk dan patuh terhadap segala peraturan dan ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah Malaysia baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan demi kemaslahatan bersama. "Seperti peraturan sholat Jum'at yang dikhususkan untuk warga negara Malaysia saja misalnya, kita akan tetap tunduk dan patuh, walaupun sebenarnya ada sedikit rasa kecewa yang kami rasakan," katanya.

Sementara itu mahasiswa S3 Fakultas Hukum UiTM, Inna Djunaenah mengatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM/UDHR) yang secara moral telah diterima oleh semua negara di dunia dikatakan bahwa kebebasan menjalankan ibadah dan keyakinan selain kebebasan berbicara adalah di antara kehendak tertinggi manusia pada umumnya (Preamble).

 

"Telah dipahami bersama bahwa setiap manusia dilahirkan dengan kedudukan setara sejak lahir (Artikel 1 DUHAM), yang seharusnya tercermin dalam pelaksanaan beribadah khususnya dalam agama Islam, bahwa pelaksanaan sholat berjamaah di shaf awal adalah bagi siapapun yang datang lebih awal. Artinya, bahwa derajat manusia ketika beribadah bukan dilihat karena berbedaan warga negara, tetapi siapa yang lebih taqwa," katanya.

Pengurus PW Aisyiyah Jawa Barat dan alumni HMI ini mengatakan artikel 7 UDHR mengakui kesetaraan hak yang sama di hadapan hukum tanpa diskriminasi. "Artikel ini pun meneruskan bahwa semua manusia berhak atas perlindungan yang setara dari diskriminasi karena pelanggaran terhadap UDHR dan terhadap bentuk diskriminasi apapun," katanya.

Ketua PCIM Malaysia Assoc Prof Dr Sonny Zulhuda mengatakan peraturan tersebut sebaiknya dipahami bahwa keringanan untuk mengunjungi masjid untuk sholat jamaah saat ini dijalankan secara bertahap dan untuk awalnya dibukakan dulu ke masyarakat setempat apalagi mengingat di Wilayah Persekutuan (Kuala Lumpur, Putrajaya) ini masjid hanya membuka sepertiga dari kapasitas masjid maka tidak bisa dibuka untuk semua orang.

"Dalam keadaan begini perubahan hukum syara' sholat ke masjid saat pandemi sebenarnya masih belum pulih sepenuhnya, apalagi masih ada masjid yang belum dibuka karena bukan zona hijau sebab yang menjadikannya tifak fardhu (yaitu wabah) masih ada dan belum hilang. Maka kita masih pada kondisi sama, yakni sholat di rumah lebih baik," katanya.

Dia mengatakan sebaiknya bagi kita mengikuti aturan pemerintah setempat sebagai refleksi Muslim yang taat dan warga yang berperadaban.

Sementara itu Ketua GP Ansor Malaysia Nur Alamin mengatakan pihaknya telah melakukan diskusi dengan sesama anggota setelah ada ketetapan pemerintah tentang sholat Jumat.

"Ada beberapa hal pertama pemerintah tidak menggugurkan hukum Jumat kepada siapapun kemudian syarat mendirikan sholat Jumat itu harus sempurna. Tentang masalah perizinan pemerintah mazhab syafii berpendapat tidak perlu izin pemerintah sedangkan mazhab Hanafi wajib dengan izin pemerintah," katanya.

Berdasarkan hasil dikusi tersebut, ujar dia, sebagai warga Indonesia yang ada di Malaysia pihaknya tetap patuh dan taat aturan yang ditetapkan oleh pemerintah Malaysia. "Sembayang Jumat tetap kami ganti dengan sembayang dhuhur dan tetap taklid kepada pemerintah Malaysia seperti selama ini dari mulai Perintah Kawalan Pergerakan (PKP) hingga sekarang, serta menunggu arahan, ketetapan pemerintah tentang hal ini," katanya.

Sedangkan Penasehat MP KAHMI Malaysia, Mislachuddin Djawair mengatakan di masjid-masjid kawasan Nilai Negeri Sembilan semua mengikuti Standar Operasional Prosedur (SOP) pemerintah.

"Jadi karena saya WNI dan dua orang anak kami warga negara Malaysia maka tetap saja untuk kita mengikuti himbauan ulil amri atau pemerintah, maka kami ambil keputusan tetap sholat dhuhur di rumah saja, sambil tetap mengikuti perkembangan selanjutnya jika sudah diperbolehkan sholat jum'at di masjid tanpa ada lagi pembatasan dengan social distancing sebagai ikhtiar bersama memutus Covid-19," katanya.

Dia mengatakan prestasi pemerintah Malaysia ini patut dicontoh oleh negara-negara mayoritas Islam yaitu rantai pandemi terpatahkan oleh ketegasan aturan pemerintah yang didukung oleh segenap komponen kepatuhan masyarakat sipil.

Sementara itu KBRI Kuala Lumpur hanya membuka sholat Jumat untuk pegawai kedutaan sedangkan Sekolah Indonesia Kuala Lumpur belum berani membuka sholat Jumat seperti biasanya.

 

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement