Senin 29 Jun 2020 18:54 WIB

Turki-Mesir di Ambang Perang di Libya!

Perang antara Mesir dan Turki bisa memperlemah persatuan umat dan negara-negara Islam

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Mesir-Turki tampaknya sudah di ambang perang. Kedua negara beberapa kali saling mengejek, mengancam, dan menggertak. Mereka memang belum berhadapan langsung di lapangan. Namun, secara tidak langsung, mereka sudah saling berhadapan di Libya, melalui dua kelompok lokal yang saling berebut kekuasaan, pasca-ambruknya rezim Muammar Gaddafi.

Dua kelompok lokal itu, pertama, Tentara Nasional Libya (LNA/al Jaysh al Wathany al Libi) pimpinan pensiunan jenderal Khalifa Haftar, berbasis di Tobruk, Libya bagian timur. Mereka didukung penuh Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), dan Rusia. LNA memiliki kekuatan di wilayah Libya bagian timur. Setahun lalu, mereka berhasil menguasai beberapa wilayah barat Libya, termasuk bandar udara internasional di ibu kota Tripoli.

Kedua, Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA/Hukumah al Wifaq al Wathany) yang dipimpin Perdana Menteri Fayes Sarraj bermarkas di Tripoli. Dengan dukungan penuh militer Turki, dalam beberapa pekan ini GNA telah berhasil merebut kembali beberapa wilayah barat dan sejumlah pangkalan militer pasukan Haftar, yang utama adalah pangkalan militer al Wattia, Kota Tarhuna, bandara internasional Tripoli, dan Bogrin (timur Kota Misrata).

Dalam serangan yang dimulai sejak akhir Maret lalu itu, mereka juga berhasil menghancurkan empat helikopter serang, dua drone, sejumlah tank, artileri, kendaraan lapis baja, dan senjata berat lainnya. Mereka juga mengancam untuk terus menyerang pasukan Haftar yang masih bertahan di pangkalan militer di al Wattia. Kini mereka bersiap untuk memasuki Kota Sirte, Libya bagian tengah.

Hal inilah yang tampaknya membuat jengkel bin marah Presiden Mesir Abdul Fattah Sisi. "Sirte dan al Jufra adalah garis merah bagi Mesir," kata Sisi menegaskan, ketika mengunjungi unit tempur angkatan udara di wilayah barat Mesir yang berbatasan dengan Libya pada Sabtu (20/06) pekan lalu.

Ia pun mengancam mengintervensi langsung militer Mesir di Libya. Menurut dia, intervensi itu memiliki legitimasi internasional. Yaitu untuk mempertahankan diri atau atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Adapun, yang terakhir ini, katanya, satu-satunya otoritas terpilih yang sah di Libya. Tentu yang dimaksud adalah DPR yang bermarkas di Tobruk yang mendukung Jenderal Haftar.

Ia juga mengisyaratkan pasukan negaranya dapat melakukan tindakan militer di luar negeri bila diperlukan. "Bersiaplah untuk melakukan misi apa pun di sini di dalam perbatasan kita atau jika perlu di luar sana," kata Sisi kepada tentara Mesir.

Lalu, apa pentingnya Sirte dan al Jufra sehingga dikatakan Presiden Sisi sebagai garis merah bagi Mesir?

Sirte berjarak sekitar 1.000 kilometer dari perbatasan Mesir. Posisinya berada di tengah antara ibu kota Tripoli dan Benghazi di pantai Libya yang menghadap Laut Mediterania. Karena itu, penguasa Sirte akan dengan mudah mengontrol pelabuhan minyak di wilayah bulan sabit sumur minyak di timur Libya, yang mengandung cadangan minyak terbesar di Libya.

Di sisi lain, di selatan Sirte terletak pangkalan udara penting al Jafra, yang berjarak hanya 300 kilometer. Pangkalan al- Jafra merupakan salah satu pangkalan udara Libya terbesar, dengan infrastruktur yang kuat, yang selalu dimodernisasi sehingga bisa mengakomodasi senjata terbaru. Pangkalan ini adalah ruang operasi utama bagi pasukan Jenderal Haftar.

Posisi al-Jafra juga penting karena terletak di bagian tengah Libya, sekitar 650 kilometer tenggara Tripoli. Ia merupakan poros penghubung antara timur, barat, dan selatan. Karena itu, siapa yang mengendalikan pangkalan al-Jafra, ia akan bisa menguasai setengah dari Libya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement