Rabu 01 Jul 2020 10:17 WIB
haji

Peran Kiai dan Haji dalam Perang Sabil di Jawa

Haji dan Kiai terbukti pemimpin para pejuang melawan kolonial.

Pemberontakan Petani Banten pada tahun 1888 yang digerakan para haji dan kiai juga terpengaruh kepada kepercayaan terhadap datangnya Ratu Adil.
Foto: historia,com
Pemberontakan Petani Banten pada tahun 1888 yang digerakan para haji dan kiai juga terpengaruh kepada kepercayaan terhadap datangnya Ratu Adil.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Pada buku salah satu bapak sejarawan Indonesia, Sartono Kartodirdjo, yang  bertajuk  ‘Ratu Adil’ di sana diceritakan fenomena perang Sabil (perang suci) di Jawa pada abad 19 dan 20 M. Dengan kata lain semenjak waktu itu di Jawa muncul gerakan yang makin militan.

Salah satunya adalah muncul lagi ramalan Jayabaya. Salah satu versinya adalah pada tahun 1970 penanggalan Jawa, suatu perang sabil yang besar akan dilancarkan kepada ras kulit putih. Menurut Sartono, ada istilah yang dipakai dengan menyebutkan akan ada caping (tudung petani terbuat dari bambu) yang akan dihanyutkan ke hilir. Kali Tuntang akan merah warnanya karena darah, orang-orang Jawa akan kembali mengendalikan pemerintahannya sendiri, tapi hanya untuk jangka waktu yang singkat karena seorang raja ras kulit kuning akan memerintah pulau Jawa.

Menurut versi yang sama, perang Sabil akan didahului oleh tanda-tanda berikut: Seutas benang akan dililitkan di seputar bumi (telegraf), orang akan mampu berbicara dari jarak yang jauh (telepon), kereta digunakan tanpa kuda (kereta api), jarak menjadi tak penting (pesawat terbang).

Selama tahun 2074, pulau Jawa akan dihancurkan oleh ledakan gunung-gunung berapi: sebagian dari itu tenggelam ke dalam laut, dan sisanya akan pecah jadi sembilan buah pulau. Akhirnya hari kiamat akan tampil.

Selanjutnya Sartono menulis, walaupun harapan-harapan gerakan Ratu Adil jarang disebutkan dalam istilah-istilah Islam, hasil yang dicapai melalui pengusiran atau penghancuran para penguasa kulit putih kerap kali dikonsepsikan dan dibenarkan dalam sautu konseptual Islam, dengan perkataan lain dengan menurut peristilahan ‘perang suci’. Peranan pemimpin yang dimainkan oleh kiai dan haji  di dalam kebanyakan gerakan sosial waktu itu, pastilah memberikan sumbangan besar pada gerakan ini.

"Di tangan mereka gagasan perang sabil menjadi sepucuk senjata ampuh di dalam menentang Belanda karena gagasan itu merupakan suatu imbauan kuat kepada semua kaum Muslimin bersatu di dalam mempertahankan agama mereka,’’ tulis Sartono.

Bahkan, lanjutnya, secara relatif keterikatan kaum abangan kepada Islam telah cukup, jika diberi pengenal permusuhan Jawa-Belanda dengan antagonisme antara Muslim dan kafir melalui gagasan perang suci yang membuat banyak dari mereka berada di belakang kiai.

Sesuai dengan itu, kegairahan keagamaan bagi jihad tidak terpisahkan dari kebencian yang penuh kekerasan terhadap penguasa-penguasa asing dan terhadap priayi pegawai-pegawai negeri, yang dikatakan telah mencemarkan kehormatan agama mereka dengan jalan bekerja sama dengan kafir.

Terpisah dari peperangan-peperangan besar terdahulu yang dipimpin oleh para raja dan para pangeran di bawah panji Islam, sejak tahun 1840-an dan seterusnya, para mubaligh yang kadang-kadang mengobarkan permusuhan terhadap para pegawai dan kafir.

Seorang dapat menyebut bahwa gerakan yang dipimpin oleh Sanjaya dari Semarang pada tahun 1841, peristiwa Ahmad Daris di Kedu pada 1843 dan peristiwa Haji Jenal Ngarip di Kudus pada tahun 1847, semua bertujuan untuk menumpas habis orang-orang Eropa.  Bolehlah diingat, bahwa peristiwa Cikandi Udik pada tahun 1845 sangat anti kulit putih pada tujuannya.

Gerakan-gerakan serupa terjadi di bagian-bagian lain Pulau Jawa khususnya peristiwa Ciomas (1886), pemberontakan petani Cilehon (1888). Peristiwa Gedangan (1904), peristiwa Pak Jebarak di Brangkal (1919), dan peristiwa haji Hasan di Simareme (1919).

Tiap-tiap peristiwa ini memproklamasikan perang sabil dan ditujukan kepada penguasa-penguasa kafir dan para kaki tangan pribuminya. Namun, sejarah beberapa gerakan ini, misalnya, pemberontakan Cilegon dan peristiwa Gedangan, memperlihatkan bahwa agitasi perang sabil bertugas untuk menyalurkan secara lebih luas permusuhan dan keluhan ke dalam kegiatan pemberontakan.

“Seperti konsepsi nativisme, gagasan Perang Suci tidak hanya menambah kesadaran kaum tani tentang kebutuhan mereka di bawah kekuasaan asing (kafir), melainkan juga mempercepat perkembangan gerakan-gerakan Ratu Adil ke jurusan-jurusan yang secara politik radikal,’’ tulis Sartono Kartodirdjo menegaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement