Kamis 02 Jul 2020 13:45 WIB

Perbaikan PJJ, dari Modul Ortu hingga Keringanan Kurikulum

Mendikbud mengatakan penerapan kurikulum darurat penting saat pandemi.

Tumpukan seragam sekolah di Pasar Jatinegara, Jakarta, Selasa (30/6).  PJJ di era pandemi membutuhkan kerjasama orang tua, murid, guru, dan sekolah. Kemendikbud menerbitkan modul bagi orang tua agar bisa membantu mendampingi anaknya belajar dari rumah.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Tumpukan seragam sekolah di Pasar Jatinegara, Jakarta, Selasa (30/6). PJJ di era pandemi membutuhkan kerjasama orang tua, murid, guru, dan sekolah. Kemendikbud menerbitkan modul bagi orang tua agar bisa membantu mendampingi anaknya belajar dari rumah.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Inas Widyanuratikah, Antara

Pekan depan sejumlah sekolah akan kembali memulai Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Salah satu kendala yang dirasakan berat saat PJJ tiga bulan adalah kurikulum sekolah yang dipaksakan pindah ke rumah.

Baca Juga

Menyikapinya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyiapkan penyederhanaan kurikulum yang akan diterapkan selama masa pandemi dalam PJJ. Selain itu, Kemendikbud juga akan memberikan modul yang bisa digunakan untuk orang tua dalam mendampingi anaknya belajar dari rumah.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengatakan, dalam PJJ masa pandemi ini partisipasi orang tua adalah salah satu faktor penting. Oleh karena itu, Nadiem menilai penting untuk menyediakan arahan bagi orang tua untuk kesuksesan PJJ.

"Kita di dalam modul-modul ini yang sudah direfokus dan disederhanakan, peran orang tua akan masuk. Biar jelas ada instruksi dan aktivitas yang bisa dilakukan orang tua dan bisa dilakukan siswa secara independen," kata Nadiem, dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI yang disiarkan melalui saluran Youtube, Kamis (2/7).

Selain itu, Kemendikbud juga akan menyederhanakan kurikulum secara umum. Nadiem menjelaskan, akan ada tiga fokus yang diprioritaskan dalam penyederhanaan kurikulum pada masa pandemi yaitu literasi, numerasi, dan pendidikan karakter.

Kurikulum darurat disebut Nadiem ini sangat penting untuk diterapkan. Sebab, Nadiem mengatakan, jika semua kompetensi tetap dimasukkan ke dalam kurikulum maka akan sulit melakukan pembelajaran yang efektif.

Selain itu, Nadiem menjelaskan, meskipun nanti kurikulum akan disederhanakan, guru tetap tidak diwajibkan untuk memenuhi ketuntasan kompetensi. "Tidak wajib mengejar ketuntasan Kompetensi Inti (KI) maupun Kompetensi Dasar (KD)," kata Nadiem.

Ia mengatakan, meskipun kurikulum yang lebih sederhana sudah diberikan, Kemendikbud akan tetap melakukan penilaian dan evaluasi. Sebab, kata dia, dampak PJJ pada pendidikan Indonesia harus terukur meskipun asesmennya memakan waktu cukup lama.

Reformasi kurikulum ini diharapkan dapat memberikan guru-guru ketenangan dalam mengajar. "Ini juga untuk memberikan arahan yang jelas menangani apa yang bisa dilakukan guru selama PJJ," kata Nadiem menambahkan.

Sebelumnya, Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti mendorong Kemendikbud untuk membuat kurikulum darurat selama masa pandemi. Retno melihat, penerapan PJJ di lapangan mengalami perbedaan persepsi. Ia menilai, sekolah masih membutuhkan panduan-panduan khusus mengenai kurikulum yang tepat untuk PJJ.

Pembentukan kurikulum darurat sesuai permintaan dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Kurikulum darurat dinilai harus dibentuk sesuai dengan aspirasi dari guru-guru di daerah.

"Kurikulum yang adaptif di masa pandemi mutlak dibutuhkan," kata Wasekjen FSGI, Satriwan Salim, beberapa waktu lalu. Kurikulum darurat yang dimaksud sebenarnya bisa dilakukan dengan mengurangi kompetensi dasar. Satriwan mencontohkan dibuat relaksasi konten khusus PJJ.

Indonesia memiliki delapan standar nasional pendidikan yang erat hubungannya dengan kurikulum dan materi ajar. Kurikulum darurat bisa menyesuaikan dengan kondisi saat ini.

Ia mencontohkan dalam pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKN) memiliki 10 kompetensi dasar. Di saat kondisi darurat, PJJ pun terhambat oleh internet yang terbatas, mestinya kompetensi dasar ini bisa dilonggarkan. "Ini yang diminta oleh guru-guru," kata Satriwan menegaskan.

Sebelumnya Kemendikbud hanya mengeluarkan surat edaran pedoman pembelajaran dari rumah. Sementara, menurut dia, yang dibutuhkan saat ini adalah kurikulum darurat yang bisa diterapkan pada tahun ajaran baru bagi sekolah yang masih harus melaksanakan PJJ.

Pedoman yang dibuat dalam surat edaran tersebut tidak menyinggung soal standar isi dan penilaian yang detail. Akhirnya, guru-guru masih mengacu pembelajaran mereka kepada Permendikbud yang dibuat tahun 2016.

"Harus ada standar kompetensi, standar isi, standar proses. Ini yang kita sebut sebagai kurikulum adaptif. Ini bermanfaat untuk masa sekarang dan masa yang akan datang jika ada ancaman," kata dia lagi.

Kurikulum darurat juga akan mengurangi beban siswa dan guru. Sebab, saat ini semua situasinya serba darurat sehingga dibutuhkan kurikulum yang tidak memberatkan siswa dan guru pula. Oleh karena itu, Satriwan menegaskan, perlu ada kurikulum yang adaptif berbentuk Permendikbud.

Berdasarkan data terkini yang diperbarui kemarin (1/7), per 28 Juni 2020, terdapat 53 kabupaten/kota dengan risiko tinggi, 177 kabupaten/kota dengan risiko sedang, 185 kabupaten/kota dengan risiko rendah, dan 99 kabupaten/kota yang tidak terdampak atau tidak ada kasus baru.

Artinya, menurut data terbaru, porsi daerah dengan status zona kuning-hijau sebanyak 55,44 persen. Warna kuning mewakili risiko rendah dan hijau mewakili daerah tanpa kasus positif. Sisanya, warna oranye mewakili zona risiko sedang dan merah mewakili risiko tinggi.

Jumlah daerah yang berada di zona kuning-hijau ini menurun dibanding capaian pada Mei sampai pertengahan Juni 2020. Catatan pemerintah, porsi daerah berstatus zona kuning-hijau pada Mei 2020 sebesar 46,7 persen. Sempat membaik pada 14 Juni dan 21 Juni dengan angka 52,53 persen dan 58,37 persen. Namun menurun lagi pada 28 Juni dengan 55,44 persen.

"Hal ini menunjukkan bahwa dinamika perubahan sering terjadi dari waktu ke waktu. Pemda harus tetap memantau protokol kesehatan dengan ketat agar kasusnya tidak meningkat, bahkan harusnya terus menurun. Sehingga secara nasional perubahan semakin lama semakin membaik," ujar Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito.

Berdasarkan aturan pemerintah, sekolah hanya boleh dibuka di zona hijau saja. Artinya, anak-anak yang berada di zona kuning sampai merah masih harus melanjutkan belajar dari rumah.

PJJ memang tidak mudah. Perubahan sistem ini membuat semua pihak yang terlibat harus beradaptasi, termasuk guru, murid serta orang tua murid mendampingi belajar dari rumah. Pendiri Kampus Guru Cikal Najeela Shihab menuturkan, penting untuk menciptakan rutinitas bagi anak meski sekolah pun dilakukan dari rumah.

"Anak-anak perlu punya struktur, kapan mengerjakan tugas sekolah, kapan main, kapan nonton TV," kata Najeela.

Menurut Najeela, belajar dari rumah tidak serta merta seperti memindahkan sekolah ke rumah. Contohnya, durasi belajar anak. Jika di sekolah anak diberi waktu lima jam untuk belajar, bukan berarti mereka juga wajib menghabiskan waktu yang sama saat belajar di rumah. "Perlu ada fleksibilitas," kata Najeela.

Sebab, ada kendala yang bisa dihadapi terkait belajar jarak jauh, misalnya jaringan internet hingga gawai yang dimiliki. Ada kalanya anak harus memakai gawai secara bergantian dengan saudaranya yang juga bersekolah dari rumah.

Belajar dari rumah adalah kesempatan bagi anak untuk menumbuhkan kemandirian buah hati dalam mengerjakan tugas-tugas. Biarkan anak mengerjakan tugasnya, bila ada kesulitan, bantu mereka untuk berkomunikasi dengan gurunya.

Belajar dari rumah di tengah pandemi adalah kesempatan bagi orang tua untuk menumbuhkan kompetensi anak agar bisa belajar dari mana saja, imbuh dia. Proses belajar jarak jauh ini juga memberikan tantangan bagi guru dalam beradaptasi dalam waktu singkat.

photo
New Normal di Sekolah - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement