Jumat 03 Jul 2020 05:23 WIB

Pergumulan Politik Islam, Nasionalis, dan PKI Tahun 1950-an

Pertarungan ide antara ideologi Islam dan Pancasila pernah hampir terjadi kompromi.

Pemungutan suara pada sidang Badan Konstituante di akhir 1950-an.
Foto: arsip nasional
Pemungutan suara pada sidang Badan Konstituante di akhir 1950-an.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Oleh  Akhmad Khoirul  Fahmi, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Unsoed dan Pengurus Pesanten al Azhari, Banyumas.

Masa  demokrasi  Liberal tahun 1950-an  dapat dijadikan  cermin  bagaimana  aspirasi  politik  islam  dalam berbagai  ranah  hendak  diperjuangkan. Tidak seperti posisi Diponegoro –dalam posisi  kalah  perang— ranah  Majelis  Konstituante  justru  suatu amanat  dalam  sidang  sidang BPUPKI yang   belum  tuntas.  Optimisme  menguat. Hal inilah yang diperjuangkan aspirasi  kalangan santri di  pada  saat  itu, sekalipun terganggu  dengan gerakan DII  TII dalam aspirasi   dengan cara lain  yang  justru  kontraproduktif.

Seperti diketahui, Masyumi, terutama  melalui  M Natsir konsepsi dasar negara Islam  telah disampaikan  dalam  dewan  konstituante. Pendapat Natsir ini  juga  disokong semua  faksi  Islam  di Konstituante. Pertentangan berbagai  konsepsi  akhirnya  justru  mengkerucut  pada  dua  kubu: kubu  Islam  dan kubu Pancasila. Inilah  yang di kemudian  hari,  hingga   hari  ini  selalu dipahami  kontradiksi antara  konsepsi  Islam dan konsepsi  Pancasila.  padahal  dalam perjuangan  konsepsi politik, sesuatu  berlangsung  sangat dinamis. Berbagai  kondisi baik  di dalam  sidang, maupun kondisi  negara  sangat  berpengaruh.

Secara sederhana, perjuangan  konsepsi  konstituonalisme  Islam  mengalami  gradasi  dari  upaya  menerapkan  hukum  islam secara  keseluruhan (dasar  negara  islam), upaya  mengembalikan  kesepakatan  pada  Piagam Jakarta dengan tujuh  kata,  kompromi dalam agar  interpretasi  Pancasila tidak  mengarah  pada rumusan  sekuler.  

Faksi Islam  yang dimotori  Masyumi, tidak menolak  Pancasila. Artinya, konsepsi  formalisasi  dasar  negara  Islam di mana, sebelum  persidangan  di titik akhir, konsepsi  Islam  sebagai  dasar  negara  dengan merujuk  pada  pemahaman pencarian  dasar  negara,  faksi Islam  tidak memaksakan   konsepsinya. Gradasi terendah  dengan  menerima  secara simbolik  pernyataan dalam  Dekrit  Presiden  5 Juli  1959  yang  menyebutkan Piagam Jakarta  itu  menjiwai UUD 1945.

Namun, peryataan itu tidak menyertakan tafsir apa pun, sehingga   dalam  realitasnya dianggap konsideran yang tidak berhubungan dengan diktum  hukum  yang akan dilegislasi  kemudian.

Upaya  kompromi  terakhir  dari  faksi islam  dalam  konstituante  adalah  menjaga  Bahkan setelah  era  Orde Baru—setelah sebelumnya  era  Orde  Demokrasi Terpimpin—yang sama-sama  otoritarian, mulailah muncul kalangan akomodasionis, yang mana  tidak  terlalu mempersoalkan  tentang  debat  ideologi  kenegaraan. Akan tetapi, bagaimana  lebih penting  untuk ikut  dalam  proses  memengaruhi  kebijakan politik negara dan birokrasi secara  langsung.

Dunia  politik  bergerak sangat  dinamis, bahkan liar. Politik memungkinkan  kesepakatan-kesepakatan  untuk kompromi-kompromi  ideologis. Di lain hal,  dunia politik  juga  mengenal  asas  pragmatisme  dan  oportunisme. Pragmatisme melihat  sesuatu  tidak  dari  segi falsafahnya, tapi  dari segi  sebab dan akibat, adalah  baik  dan positif.

Oportunisme, bahkan  tidak  mempunyai asas, selalu  cuma  memperhitungkan  keadaan  dan  menunggu-nunggu kemungkinan  yang baik  untuk semata  keuntungan material.

Kalangan akomodasionis  bergerak  dalam  wilayah semacam ini. Pengalaman sejarah terlalu kaku dengan  suatu  prinsip ideologi  menjadikan  suatu  sikap ideologi  dikatakan keras kepala, intoleran  hingga  akan  mengganti  dasar negara.  Sesungguhnya  pengalaman  Masyumi  dan Prawoto  Mangkusasmito  menjadikan   perjuangan  ideologi  adalah ranah  berpikir falsafah  dan  program yang disesuaikan dengan realitas  yang ada.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement