Jumat 03 Jul 2020 12:05 WIB

Tokoh Agama Bisa Dilibatkan Cegah Politik Uang

Penyelenggara pemilu dapat menggandeng tokoh lokal yang didengar masyarakat

Rep: Mimi Kartika/ Red: Esthi Maharani
Petugas menunjukkan sejumlah barang bukti dugaan politik uang pada Pemilu 2019
Foto: Antara/Anis Efizudin
Petugas menunjukkan sejumlah barang bukti dugaan politik uang pada Pemilu 2019

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Dian Permata mengatakan, mencegah tindakan money politic atau politik uang tak hanya tanggung jawab Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun Komisi Pemilihan Umum (KPU). Penyelenggara pemilu dapat menggandeng tokoh lokal yang benar-benar didengar masyarakat agar menolak praktik politik uang, misalnya tokoh agama.

"Saya ambil contoh misalnya di daerah riset yang kita lakukan, yang menjadi tokoh preferensi mereka apakah mereka didengar atau tidak, misalnya tokoh agama," ujar Dian dalam diskusi virtual 'Politik Uang di Pilkada 2020: Madu vs Racun?' pada Kamis (2/7).

Ia mengatakan, setiap daerah tentu memiliki karakteristik yang berbeda, termasuk tokoh yang paling didengar. Misalnya, tokoh agama dapat mengkampanyekan politik uang berhukum haram kepada masyarakatnya.

Sehingga, diharapkan masyarakat akan menolak ketika kandidat calon kepala daerah melakukan vote buying atau memberikan uang/barang agar memilih dirinya. Kendati rumit, penyelenggara dapat memetakan tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam tatanan hidup masyarakat di daerah.

"Ketika kita tahu bahwa tokoh agamanya misalnya anggaplah Pak Erik, sudah barang temtu penyelenggara ke Pak Erik untuk mengkampanyekan bahwa politik uang itu haram. Memang kerjaannya agak rumit," kata Dian.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Ketua Bawaslu RI, Abhan mengatakan, tindakan money politic atau politik uang berpotensi meningkat pada Pilkada 2020 karena digelar di tengah pandemi Covid-19. Apalagi, kepala daerah yang akan maju kembali dalam pilkada rawan menyalahgunakan kewenangan.

"Karena kondisi pandemi ini ekonomi kurang baik maka potensi money politic juga bisa tinggi dibanding kondisi pada pilkada-pilkada sebelumnya. Karena ada relasinya, relasi antara kondisi ekonomi dengan itu," ujar Abhan dalam diskusi virtual 'Politik Uang di Pilkada 2020: Madu vs Racun?', Kamis (2/7).

Ia mengatakan, modus politik uang dapat berupa pembagian uang, pembagian sembako, dan pembagian voucher. Dalam kondisi Covid-19, modus politik uang juga bisa saja dalam bentuk pemberian bantuan alat kesehatan, alat pelindung diri (APD), maupun bantuan sosial (bansos).

Abhan menyebutkan, pandemi Covid-19 juga membuat rawan penyalahgunaan kewenangan kepala daerah yang akan maju kembali dalam Pilkada 2020, terutama politisasi bantuan sosial. Bahkan, Bawaslu telah menerima dan menindaklanjuti laporan dugaan politisasi bansos tersebut di sejumlah daerah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement