Ahad 05 Jul 2020 04:15 WIB

11 Poin Pernyataan Sikap MUI Soal RUU Cipta Kerja

RUU Cipta Kerja Disorot MUI.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
11 Poin Pernyataan Sikap MUI Soal RUU Cipta Kerja. Foto: Logo MUI
11 Poin Pernyataan Sikap MUI Soal RUU Cipta Kerja. Foto: Logo MUI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI) menyampaikan pandangan dan sikap terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. MUI menyampaikan pandangan dan sikapnya dalam edaran bernomor Kep-1332/DP-MUI/VII/2020 yang ditandatangani Wakil Ketua Umum MUI, KH Muhyiddin Junaidi dan Sekertaris Jenderal MUI, Buya Anwar Abbas pada 3 Juli 2020.

"MUI sebagai salah satu komponen bangsa memberikan perhatian penuh terhadap agenda pembahasan RUU Cipta Kerja yang bersifat Omnibus Law di DPR, hal tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab MUI dalam melaksanakan perannya sebagai shadiqul hukumah, himayatul ummah, dan khodimul ummah," kata KH Muhyiddin melalui pesan tertulis kepada Republika, Sabtu (4/7).

Baca Juga

Berikut Pandangan dan Sikap DP MUI Pusat Terhadap RUU Cipta Kerja

DP MUI Pusat berpendirian bahwa dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan oleh para pembentuknya dalam hal ini DPR dan presiden, batu ujinya secara mutlak adalah Pancasila sebagai landasan filosofis dan UUD 1945 sebagai landasan yuridis, dalam mewujudkan kemakmuran rakyat sebagai landasan sosiologis.

1. DP MUI Pusat perlu mengingatkan bahwa dalam pembahasan baik tahapan maupun substansi RUU tersebut hendaknya DPR dan pemerintah memperhatikan nilai-nilai filosofis, yuridis dan sosiologis yang tercermin dalam Pancasila, UUD 1945, dan nilai-nilai yang hidup dan diyakini oleh masyarakat. Sehingga RUU Cipta Kerja ini, tidak menyimpang dari tujuan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No 12/2011) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

2. DP MUI Pusat meminta agar DPR dan pemerintah mencermati dan mempertimbangkan secara sungguh-sungguh dan mendalam berbagai pendapat, pemikiran dan tanggapan yang berkembang di masyarakat mengenai RUU Cipta Kerja ini. Selain muncul berbagai dukungan, juga timbul kritik, keberatan, bahkan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja, baik untuk materi tertentu, pasal tertentu, klaster tertentu, maupun untuk keseluruhan RUU Cipta Kerja ini.

3. RUU Cipta Kerja ini juga memuat pengaturan yang terkait erat dengan ajaran Islam dan kepentingan umat Islam, antara lain dalam materi pengaturan halal, perizinan halal terhadap UMKM, perbankan syariah. Khusus terkait perizinan halal agar lebih hati-hati dan dipertimbangkan secara seksama karena bila halal menjadi bagian dari sektor perijinan maka di samping RUU ini berpotensi melanggar prinsip-prinsip agama, juga hal ini menjadi imperatif yang mengikat pelaku usaha dan dapat menjadi beban bagi pelaku usaha.

Perihal ini menjadikan kontraproduktif dengan semangat RUU Cipta Kerja untuk penyederhanaan perizinan berusaha. Oleh karena itu halal seharusnya dikeluarkan dari rezim perizinan berusaha dan dikembalikan kepada ruhnya yaitu hukum agama Islam.

4. Dengan sertifikasi halal menjadi mandatory (kewajiban) sesungguhnya negara telah hadir dalam memberikan perlindungan bagi pelaku usaha dan warga negara untuk terciptanya kepastian mengenai sistem jaminan halal. Sehingga pelaku usaha dan masyarakat terlindungi masing-masing kepentingannya secara bersamaan.

5. Halal merupakan bagian integral ajaran Islam dan keyakinan yang harus dipatuhi dan ditunaikan oleh setiap umat Islam. Untuk itu, pengaturan tentang halal dalam RUU Cipta Kerja hendaknya bukan semata-mata diletakkan pada kepentingan dan motif ekonomi atau investasi serta mengabaikan prinsip-prinsip keagamaan. Misalnya dengan adanya pasal di dalam RUU yang membuka peluang ditetapkannya kehalalan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak memiliki otoritas keagamaan Islam.

Dalam pandangan MUI, apabila halal menjadi bagian dari perijinan dan penyederhanaan berusaha maka di samping RUU ini berpotensi melanggar prinsip-prinsip agama, juga hal ini menjadikan halal sebagai ketentuan yang bersifat imperatif yang mengikat pelaku usaha dan dapat membebani. Hal ini menjadikan kontraproduktif dengan semangat RUU Cipta Kerja, yaitu penyederhanaan perizinan berusaha. Halal seharusnya dikeluarkan dari rezim perizinan dan penyederhanaan berusaha serta dikembalikan kepada ruhnya, yaitu sebagai hukum agama Islam yang merupakan domain ulama yang terwadahi di MUI.

6. Untuk itu penetapan fatwa halal dalam Bab III dan Bab V mengenai perijinan kehalalan untuk UMKM atau dalam ketentuan-ketentuan lain dalam RUU Cipta Kerja ini tidak sesuai dengan hak internum umat Islam, berpotensi membingungkan umat Islam dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

7. Rumusan tentang perijinan kehalalan untuk UMKM tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam karena pemerintah masuk ke ranah substansi ajaran Islam (fatwa halal) dengan membuat halal menjadi bagian dari perizinan. Sementara halal merupakan bagian integral ajaran Islam yang menjadi domain lembaga fatwa Islam untuk penetapan halalnya melalui mekanisme fatwa.

Atas dasar itu, DP MUI Pusat berpendapat dalam hal halal, kiranya pemerintah memposisikan diri sebagai lembaga administratif, sementara MUI diposisikan sebagai lembaga internum yang mempunyai otoritas melakukan penetapan fatwa halal terhadap produk.

8. DP MUI Pusat menilai bahwa dalam RUU Cipta Kerja nampak jelas berkecenderungan memberikan kemudahan, peluang dan perlindungan terhadap usaha skala besar. Namun kurang memberikan perhatian, pembinaan, peluang serta perlindungan terhadap UMKM terutama usaha mikro yang jumlah pelakunya kurang lebih 70 juta dibandingkan jumlah usaha skala besar yang berjumlah sekitar 5.000 pelaku usaha saja.

9. DP MUI Pusat menilai bahwa dalam RUU Cipta Kerja bidang penelitian yang bersifat terapan yang menghasilkan metode dan teknologi terapan bidang ekonomi, transportasi, komunikasi, kesehatan, pendidikan dan pertanian serta dalam kerangka pengembangan UMKM masih belum dijadikan kebijakan yang mendasar. Oleh karena itu, DP MUI Pusat meminta dan mendesak agar bidang riset dan inovasi harus mendapat perhatian dengan porsi yang besar dan kuat dengan memperkuat kemitraan dan partisipasi para peneliti di kementerian terkait, perguruan tinggi serta lembaga-lembaga penelitian swasta dan pada lembaga profesional dalam melakukan penelitian dengan pendekatan konsep meniru teknologi maju secara inovatif (imitation lead to innovation). Yakni meniru teknologi maju dengan modifikasi menuju inovasi yang bermanfaat untuk masyarakat dan dunia usaha terutama UMKM.

10. DP MUI Pusat berpandangan bahwa dalam kerangka mendukung riset sebagai kebijakan nasional yang berorientasi pada pemecahan masalah yang berkembang dalam masyarakat serta pengembangan dunia usaha terutama UMKM. Maka dalam rangka untuk mendukung kebijakan nasional di bidang riset tersebut diwajibkan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) BUMN dan perusahaan swasta dapat dialokasikan sebesar 1 persen untuk digunakan langsung dalam pengembangan usaha inovatif di lingkungan pelaku usaha baik kepada koperasi maupun UMKM.

11. DP MUI Pusat mengapresiasi beberapa ketentuan dalam RUU Cipta Kerja yang terkait dalam bidang investasi yang membagi pada dua jenis yakni investasi tertutup dan investasi terbuka. Kebijakan negara terkait dengan bidang usaha tertutup dari investasi-investasi didasarkan atas kepentingan nasional, azas kepatutan dan konvensi internasional, yang tidak membolehkan jenis-jenis usaha sebagai berikut. Di antaranya perjudian dan kasino, budidaya dan produksi narkotika golongan satu, industri pembuatan senjata kimia, industri pembuatan bahan perusak lapisan ozon (BPO), penangkapan spesies ikan yang tercantum dalam Appendix I, pemanfaatan dan pengambilan koral/ karang dari alam, industri berbasis pornografi dan prostitusi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement