Rabu 08 Jul 2020 04:11 WIB

Menyelinap Celeng di Tengah Polemik UU Jaminan Produk Halal

Fenomena daging celeng di tengan pandemi

Petugas bersiap memusnahkan daging celeng selundupan dalam insenerator di Merak, Banten.
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Petugas bersiap memusnahkan daging celeng selundupan dalam insenerator di Merak, Banten.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Elvina A. Rahayu, Pegiat Halal  Muhammadiyah dan Senior Auditor LP POM MUI periode 1994-2014

Hingga Juli tahun 2020 ini sudah ada tiga  kasus terkait dengan pemalsuan daging sapi. Daging sapi dioplos dengan daging babi dan atau celeng. Ditambahkan borax agar merah seperti daging sapi, atau dioplos dengan sapi dengan perbandingan tertentu untuk mendapatkan harga dibawah harga normal pasar.

Selain daging sapi oplos, daging sapi campuran celeng atau babi ini menjelma dalam bentuk olahan daging yaitu bakso dan bahkan rendang. Kejadian bulan Mei di 2 tempat yang berbeda Bandung dan Tangerang. Kemudian terjadi pada akhir Juni di Cimahi Jawa Barat. Mereka telah melakukan praktek ini sudah lebih dari 1 tahun hingga 6 tahun. Sungguh Miris!

Kasus celeng dan atau babi yang dioplos bukan  hal baru. Kasus ini hampir kerap terjadi menjelang lebaran. Beberapa tahun lampau pernah terjadi oplosan sapi dan celeng dijual di pasar Bogor. Truk pengangkut daging celeng dari Sumatera masuk ke Bogor dengan alasan yang tepat, untuk pakan di Taman Safari!

UU Jaminan Produk Halal (UU JPH) telah lahir tahun 2014, enam tahun sudah umurnya. Dalam amanat UU tersebut dinyatakan bahwa berlakunya UU tersebut maksimal 5 tahun sejak diberlakukannya  yaitu tahun 2014. Namun sangat disayangkan belum terlihat manfaat UU tersebut bagi masyarakat muslim Indonesia. Malah justru berulang kali barang haram tersebut menyelinap ke produk yang jamaknya dikonsumsi oleh konsumen muslim.

Dengan alasan percepatan pertumbuhan ekonomi di era covid 19 ini, maka UU JPH pun di omnibus law-kan. Banyak hal yang perlu juga dikritisi terkait perubahan tersebut. Namun hal tersebut tidak akan dibahas pada tulisan ini.  Pada PMA No.26/2019 pasal 152 ayat 2f pengawasan Jaminan Produk Halal (JPH) dilakukan oleh BPJPH, untuk menjamin kehalalan dIilakukan di tingkat distribusi hingga penyajian antara produk halal dan tidak halal.

Pada pasal selanjutnya sudah ditetapkan kewenangan pengawasan JPH nya pada lingkup nasional dan daerah. Yang menjadi pertanyaannya aturan yang termaktub di PMA tersebut belum terlihat konkret dalam bentuk koordinasi  antar K/L yang dilakukan oleh BPJPH sebagai badan yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai penyelenggara JPH. Harusnya isu oplosan celeng  ini menjadi salah satu isu yang penting untuk dikendalikan (mengingat kasus ini berulang terjadi) dalam rangka  menjamin  terselenggaranya JPH.

Tapi tampaknya BPJPH lebih disibukkan dengan polemik urusan  teknis sertifikasi halal dan pendirian Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) . Tentunya sangat disayangkan dengan  otoritas yang telah ditetapkan dalam  peraturan perundangan, justru BPJPH  lebih focus pada  masalah yang sangat teknis.

Kasus peredaran celeng  seharusnya menjadi salah satu isu penting  bagi BPJPH untuk melakukan serangkaian kebijakan dan kerjasama antar K/L. Karena sesungguhnya aturan terkait dengan peredaran daging di Indonesia sudah ada di Kementrrian Pertanian.  Demikian pula terkait dengan pengawasan di hilir, sudah ada pula beberapa aturan yang dikeluarkan oleh BPOM atau Kemenkes terkait peredaran dan penjualan pangan kemasan dan siap saji.

Bayangkan jika focus BPJPH hanya pada  kegiatan sertifikasi, sementara koordinasi pengawasan  terkait distribusi daging di wilayah NKRI ini  terabaikan, maka bagaimana sulitnya kegiatan sertifikasi halal itu dilakukan oleh LPH.  Karena LPH adalah pihak ketiga yang hanya melakukan kegiatan audit sekali hingga dua kali (jika surveilan diberlakukan) selama 4 tahun, kemudian siapa yang menjamin bahwa produsen atau pedagang tidak melakukan pemalsuan dengan barang haram seperti  daging oplos  dan bakso yang terjadi di Cimahi.

Jika demikian, maka secara tidak langsung kredibilitas dari sertifikat halal akan dipertanyakan.

Dari tiga kasus yang terjadi selama dua bulan terturut , BPJPH  tidak memberikan jawaban yang memuaskan (Republika, 12 May 2020) atas fungsinya sebagai pengawas JPH , dan terbukti bulan berikutnya kasus oplosan babi muncul lagi. Menyedihkan, karena pada kenyataannya konsumen muslim Indonesia belum mendapatkan haknya.

Keberadaan produk halal bukan pilihan tapi menjadi kewajiban atas konsumen muslim. Maka seraya mengingatkan kembali kepada semua pihak bahwa UU JPH adalah UU Jaminan Produk Halal, bukan UU Sertifikasi Halal. Sertifikat halal adalah bagian dari Jaminan Produk halal yang menjadi hak bagi konsumen  Muslim!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement