Kamis 09 Jul 2020 17:38 WIB

Rusia tak Mau Paksa China Terlibat Negosiasi Senjata Nuklir

Rusia akan membahas perjanjian pembatasan senjata nuklir dengan AS

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Bendera China dan Rusia. Rusia memprioritaskan Prancis dan Inggris, bukan China dalam negosiasi pembatasan senjata nuklir
Foto: Wikimedia Commons
Bendera China dan Rusia. Rusia memprioritaskan Prancis dan Inggris, bukan China dalam negosiasi pembatasan senjata nuklir

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Rusia mengatakan tidak akan memaksa China bergabung dalam pembicaraan perjanjian pembatasan senjata nuklir yang melibatkannya dan Amerika Serikat (AS). Moskow justru lebih memproritaskan keterlibatan Prancis dan Inggris. 

"Rusia tidak akan mendesak China untuk bergabung dengan pembicaraan bilateral kami (Rusia-AS tentang pengurangan senjata nuklir)," kata Duta Besar Rusia untuk AS Anatoly Antonov pada Rabu (8/7), dikutip laman kantor berita Rusia TASS. 

Baca Juga

Menurut Antonov, Rusia lebih memilih menarik Prancis dan Inggris dalam perjanjian semacam itu. "Rusia, seperti yang Anda tahu, memberikan prioritas untuk melibatkan Inggris dan Prancis ke dalam dialog. Mengapa? Karena mereka adalah negara-negara anggota senjata nuklir dan anggota NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara). Dan tentu saja kami prihatin dengan apa yang dilakukan NATO sangat dekat ke wilayah Rusia," ucapnya. 

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengendalian Senjata Kementerian Luar Negeri China Fu Cong mengungkapkan negaranya siap bergabung dalam pembicaraan pembatasan nuklir dengan AS dan Rusia. Namun, hal itu hanya dapat terjadi jika AS menyetujui kesepadanan di antara ketiga negara. 

“Saya dapat meyakinkan Anda, jika AS mengatakan bahwa mereka siap turun ke level China, China akan dengan senang hati berpartisipasi (dalam pembicaraan pembatasan senjata nuklir) di hari berikutnya,” kata Fu pada Rabu (8/7), dikutip laman The Globe and Mail. 

Namun menurut dia, hal itu tentu tidak akan terjadi. Fu menjelaskan, partisipasi China dalam pembicaraan pembatasan senjata nuklir dengan AS dan Rusia tidak realistis. Hal itu karena negaranya memiliki persenjataan nuklir yang jauh lebih kecil dibanding Moskow dan Washington.

Fu berpendapat, keinginan AS menarik China dalam perundingan pembatasan senjata nuklir dengan Rusia hanya sebuah dalih. Dalam konteks ini, AS, kata Fu, memang tak ingin mengganti perjanjian Strategic Arms Reduction Treaty (New Start) yang berakhir pada Februari lalu. 

New Start merupakan perjanjian kontrol senjata bilateral antara AS dan Rusia. Berdasarkan ketentuan perjanjian itu, kedua negara dilarang mengerahkan lebih dari 1.550 hulu ledak nuklir, membatasi rudal, dan pembom berbasis darat serta kapal selam yang mengirimnya. 

Fu mengatakan AS dan Rusia harus setuju untuk mengurangi persenjataan nuklir mereka. Jika hal itu dilakukan, China akan bergabung dalam upaya pengurangan senjata nuklir.

Pasca-perundingan baru-baru ini di Wina, Austria, negosiator AS Marshall Billingslea mengatakan perjanjian senjata nuklir baru apa pun yang dibuat harus melibatkan China. Dia berharap komunitas internasional menekan Beijing bergabung dalam pembicaraan tersebut.

“Kesepakatan pengendalian senjata nuklir tiga arah, dalam pandangan kami, memiliki peluang terbaik untuk menghindari perlombaan senjata nuklir tiga arah yang sangat tidak stabil,” kata Billingslea. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement