Ahad 12 Jul 2020 19:46 WIB

Salah Kaprah Manja, Lebay, dan Baper

Wahai khairu ummah, sampai kapan kita nyaman hidup dalam kubangan kedzaliman?

Rep: Retizen/ Red: Elba Damhuri
Tiga Jenis Kezaliman
Foto: infografis republika
Tiga Jenis Kezaliman

RETIZEN -- Pengirim: Fatimah Azzahra, SPd*

"Baru dua hari gak keluar airnya. Yang lain berminggu-minggu bahkan sebulan," kata sang teknisi yang entah berbisik atau sengaja berbicara agak keras sampai terdengar oleh kami yang komplain. 

Ya, sudah dua hari air di rumah tak kunjung keluar. Padahal, kemarin kami kaget tagihan air membengkak luar biasa.

Dari yang kurang dari seratus ribu, merangkak naik menjadi seratus ribu lebih, dan sekarang jadi tiga ratus lebih sekian. Kenapa bisa begitu? Belum ada jawaban. 

Padahal, dua hari tak ada air itu lama. Apalagi ada balita, batita dan bayi di rumah. Terbayangkan bagaimana harus membersihkan kotorannya? Bagaimana harus memandikannya?

Bagaimana harus menyebokinya? Belum lagi mencuci piring atau pakaian. Kami bukan sultan yang bisa mandi dan bebersih dengan air galon. 

Dumelan sang teknisi ini menggambarkan pada saya tentang mental terjajah. Betapa kini, menuntut hak itu dianggap manja dan lebay. 

Terlalu sering didzalimi membuat orang merasa wajar dan pasrah menerima kedzaliman. Justru aneh kala menuntut hak dan keadilan. 

Sudah terlalu lama kita dibohongi, sehingga kala menuntut kejujuran kita dikatai munafik. 

Sudah terlalu lama kita disakiti, sehingga kala meminta tak disakiti disebut lemah. 

Sudah terlalu lama kita diperlakukan buruk, sehingga kala meminta diperlakukan baik dilabeli baperan. 

Beginilah wajah buruk standar yang dibentuk oleh manusia. Standar seperti karet. 

Digunakan untuk menguntungkan pihak tertentu. Kalau tak menguntungkan langsung dilabeli hal yang negatif. 

Beginilah wajah buruk hidup dalam sistem yang rusak dan merusak. Bahkan merusak fitrah akan kebaikan, keadilan. 

Merasa wajar hidup dalam kubangan kedzaliman. Tak merasa tersakiti kala dianiaya. Tak merasa rugi kala disakiti. 

Sedih. Padahal dulu kita hidup dalam kemuliaan. Hidup dalam keagungan. Namun, sejarah kemuliaan itu disembunyikan, ditutupi, agar kita tak lagi rindu dimuliakan.

Tak lagi rindu hidup dalam naungan keagungan agama Nya. 

Jangankan untuk masalah air yang menguasai hajat hidup orang banyak. Untuk masalah jalan yang berlubang yang membuat seekor keledai terperosok pun akan menjadi perhatian pemimpin negara!

Karena ia tahu beratnya hisab. Karena ia paham tak akan ada lagi alasan yang bisa dilontarkan kala hari pertanggungjawaban itu hadir.

Karena yang berbicara dalam kesaksian nanti adalah tubuh kita langsung. 

Duh, wahai khairu ummah, sampai kapan kita akan nyaman hidup dalam kubangan kedzaliman. Tidakkah kita rindu akan kemuliaan Rahmat Nya?

Kemuliaan yang hadir karena barokah dari langit dan bumi yang Allah limpahkan karena menerapkan aturan Nya secara kaffah. 

Sehingga tak ada lagi manja, lebay dan baper yang salah kaprah. 

Wallahu'alam bish shawab. 

*Pengirim: Fatimah Azzahra, SPd, Pendidik

Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Advertisement
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement