Senin 13 Jul 2020 08:40 WIB

Menelisik Agenda di Balik Penghapusan Ajaran Islam

Adanya gelagat untuk menuangkan pemahaman sekularisme dan pluralisme dalam ajaran Isl

Rep: Imas Damayanti/ Red: Agus Yulianto
Dr. Ahmad Sastra
Foto: dok. Pribadi
Dr. Ahmad Sastra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah melalui Menteri Agama (Menag) pernah menyatakan telah menghapus konten-konten yang dianggap radikal dalam buku pelajaran agama Islam. Sikap ini kemudian menuai pertanyaan besar tentang benar tidaknya radikalisme tumbuh melalui sistem pendidikan Islam di Indonesia.

Tak hanya itu, tudingan radikalisme terhadap konten-konten agama Islam juga menarasikan Islam dalam konteks yang lain seperti modernisme. Sikap pemerintah ini pun mendapat tanggapan sekaligus juga peringatan dari sejumlah pakar Islam.

Dalam live streaming Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa, Ahad (12/7), Direktur Institute of Islamic Analysis of Development Inqiyad Fahmy Lukman mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menarasikan radikalisme dan modernisme dengan Islam. Menurutnya, ketika Islam dikemas dalam cara pandang sekularisme, liberalisme, kapitalisme, dan pluralisme maka akan ada permasalahan-permasalahan besar yang dapat timbul.

photo
Siswa-siswi MTS tengah mengikuti diskusi saat pembelajaran. 

“Ketika pemahaman Islam dikemas dalam cara pandang sekularisme, kapitalisme, pluralisme dan liberalisme maka ajaran Islam yang mulia akan sangat besar dipahami berbeda,” kata dia.

Dia menjelaskan, menyikapi tentang aspek-aspek yang digagas oleh Kemenag memang bukan untuk menghilangkan jihad, tetapi upaya mengubah kontennya di samping aktivitas itu masih ada. Meskipun tidak ada perubahan yang signifikan, namun hal itu adalah perubahan. 

Untuk itu pihaknya merasa perlu memberikan masukan kepada pemerintah agar konten-konten yang berkaitan dengan ajaran Islam harus tetap ada dan tetap dalam sudut pandang Islam. “Bukan dalam sudut pandang sekularisme dan pluralisme,” ungkapnya.

Mantan atase pendidikan di KBRI Filipina ini menyebut, jika Islam diterjemahkan ke dalam pandangan yang keliru maka dikhawatirkan hal itu akan menuai kesalahpahaman ke depannya. Dia pun meminta kepada pemerintah untuk sama-sama membahas tema pengajaran Islam ini dalam kejujuran intelektualitas.

Direktur Pasca Sarjana Universitas Darussalam Gontor Hamid Fahmy Zarkasyi mengatakan, pihaknya sejak 2001 telah mencium adanya gelagat untuk menuangkan pemahaman sekularisme dan pluralisme dalam ajaran Islam. Sehingga penghapusan materi pendidikan agama Islam dalam kurikulum saat ini dinilai adalah bentuk akumulatif perjalanan yang menahun.

Dia menyebut, dalam konteks pertarungan peradaban, Islam tak lepas dari bahasan kapitalis dan liberalis sejak dulu. Untuk menangkal hal itu, di Gontor ia berfokus membangun dan mencetak ulama-ulama yang dapat menerjemahkan Islam secara kaffah tanpa perlu menggubris paham-paham ‘isme’ yang ditawarkan.

Narasi Islam radikal saat ini kemudian akan digantikan dengan Islam moderat. Yang mana hal itu merupakan hal keliru yang harus ditelisik lebih jauh. Dia melihat, sejatinya jika seseorang sudah yakin dengan ajaran Islam yang dipercaya, maka tak perlu ada alasan untuk menakuti sesuatu yang dianggap benar dan telah diyakininya.

“Ada pemahaman yang menginginkan umat Islam moderat. Saya pesan ke Menag agar memahami Islam apa adanya. Jika takut umat Islam radikal, berarti anda takut kepada apa yang anda yakini benar,” ungkapnya.

Menurut dia, jika seseorang sudah Mukmin, maka tidak mungkin baginya untuk menjadi teroris. Sebab terorisme merupakan hal lain dari ajaran Islam. Sedangkan orang yang Mukmin sudah pasti telah melaksanakan ajaran Islam secara kaffah.

“Jika dikaitkan dengan cabang-cabang iman, tidak ada satu pun cabang iman yang berhubunga dengan terorisme. Inilah tantangan kita yang harus dihadapi seiring dengan berjalannya sekularisasi,” ujarnya.

Untuk itu dia melihat bahwa perjalanan dalam menghapus konten agama Islam dalam kurikulum sebagai sebuah peringatan besar tentang apa agenda di balik semua yang terjadi. Dia pun mengajak kepada seluruh cendikiawan dan intelektual Muslim untuk sama-sama merumuskan solusi dan bergerak dalam menangkal agenda-agenda di balik hal yang terjadi.

Dosen Filsafat Universitas Ibnu Khaldun Ahmad Sastra menyampaikan, dalam Alquran tidak ada istilah Islam Wasathiyah (moderat). Yang ada justru istilah ummatan wasathon (umat yang moderat). Pada masa neomodernisme dia melihat terdapat upaya untuk menjadikan Islam menjadi sebuah agama yang modern yang mengacu pada pemikiran produk barat. Sedangkan yang disebut sebagai ummatan wasathon harus merujuk pada Rasulullah SAW.

“Nah, seperti apa umat wasathiyah yang dimaksud? Yaitu yang adil, dan timbangannya harus syariah dan Alquran,” ujarnya.

Sebab menurut dia, adil menurut kapitalisme, sosialisme, liberalisme sangat berbeda dengan adil dalam termonologi Islam. Menurut Islam yang namanya adil itu adalah jika menempatkan segala sesuatu pada tempatnya sesuai dengan ajaran Alquran dan sunah Rasulullah SAW.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement