Selasa 14 Jul 2020 04:03 WIB

Hagia Sophia: Belajar dari Shalahuddin Hingga Erdogan

Memimpin dalam Islam tak bisa obral janji

Sultan Muhammad Al Fatih kala memimpin pasukannya membebaskan Konstantinopel (Istanbul).
Foto: google.com
Sultan Muhammad Al Fatih kala memimpin pasukannya membebaskan Konstantinopel (Istanbul).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis Buku dan Traveller.

“Kirimkanlah pasukanmu. Bila engkau berhasil mengembalikan tahtaku, aku akan berikan sepertiga pendapatan negeri Mesir untukmu,” pinta Shawar bin Mujīr al-Sa`adi penuh harap.

Sejenak Nuruddin Zanki menimbang. Shawar bin Mujīr al-Sa`adi adalah penguasa yang dikuasasi dinasti Syiah Fathimiyah (Ubaidiyah) di Mesir. Haruskah ia membantunya?

Namun kecerdasan politiknya melihat ini adalah peluang untuk menyingkirkan sang penguasa yang telah bercokol lebih dari 250 tahun di wilayah Mesir dan beberapa wilayah di Afrika Utara. Sekaligus duri dalam daging yang menghambat pembebasan Baitul Maqdis.

Akhirnya permintaan itu disanggupi. Dikirimlah para panglimanya yang sangat dipercaya Asad ad-Dīn Shīrkūh dan keponakannya Shalahuddin Al-Ayyubi. "Seperti sudah diduga, setelah kemenangan itu didapat, sang penguasa mengkhianati perjanjian,” tulis Prof DR Ali Muhammad as-Shalabi dalam bukunya “Shalahuddin Al Ayyubi Pahlawan Islam Pembebas Baitul Maqdis”.

Namun tak kalah cerdas, Shalahuddin tetap bisa memanfaatkan kepercayaan yang sudah didapat dari penguasa Mesir itu. Strategi cantik ia mainkan.

Satu per satu para pejabat negara diganti dengan orang-orang ahlus sunnah. Terutama posisi strategis, seperti qadhi. Shalahuddin menempatkan Qadhi Isa Al Hukari, seorang alim, ahli fiqih sebagai hakim agung Kairo.

Lalu dipanggillah para ulama dari 4 madzhab utama yang selama ini seringkali tak seiring sejalan. Diberikan tempat dan fasilitas untuk mendirikan majelis-majelis ilmu sesuai madzhab masing-masing, namun diharuskan untuk mengajarkannya pada rakyat Mesir.

Setelah itu ditutupnya Universitas Al Azhar, Kairo, yang awalnya didirikan oleh dinasti syiah Fatimiah untuk menyebarkan ajaran mereka. Bahkan, setelah itu nyaris kemudian setela era itu, satu abad lamanya universitas prestisius itu ditutup, supaya yakin tak ada lagi paham dan pengaruh dinasti penguasa Fatimiyah.

Nah, usai Shalahuddin berhasil mendapatkan hati dan kepercayaan rakyat Mesir pun kembali adanya pemimpin yang adil. Mereka selama ini sudah muak dengan pemimpin mereka yang dzalim. Akhirnya, sejarah pun mencatat, dinasti syiah Fatimiah yang telah bercokol lebih dari 250 tahun dan mengakar kuat di Mesir, bisa ditutup hanya dalam waktu 3 tahun tanpa pertumpahan darah!

Kuncinya adalah strategi yang cerdas dan kesabaran untuk tarik ulur. Hal serupa dilakukan Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan.

Di awal masa jabatannya, ia fokus memperbaiki ekonomi Turki yang waktu itu tengah terpuruk. Prestasi sebelumnya sebagai walikota Istanbul yang sukses membuat langkahnya sedikit lebih mudah.

Namun, tak banyak yang mencatat, janji membebaskan Hagia Sophia atau Aya Sofya pertama kali terucap saat ia masih menjadi walikota, 26 tahun lalu. Kesuksesannya membuat Turki makmur, perlahan mendapat tempat di hati rakyatnya, termasuk kelompok sekuler. Setelah itu barulah ia mulai mereformasi satu per satu aturan sekuler yang diwariskan pendahulunya.

Dan, sejatinya bukan Erdogan yang mengawali reformasi untuk mengembalikan panji-panji Islam ke bumi Utsmani setelah direnggut oleh anak kandungnya sendiri Mustafa Kemal Attaturk. Pendahunya, Perdana Menteri Najmuddin Erbakan ketika menjadi PM Turki pada 1996 telah mencobanya.

Namun lantaran terlalu menonjolkan agenda Islam, ia akhirnya dikudeta oleh militer tahun 1997 yang saat itu merupakan benteng sekularisme Turki.

Hal yang sama juga terjadi pada almarhum Presiden Mesir Muhammad Moersi. Pilihan sikapnya di satu sisi membuatnya menjadi “sasaran tembak” banyak pihak. Hingga akhirnya dikudeta dan wafat di penjara.

Dari Shalahuddin Al Ayyubi hingga Erdogan kita belajar tentang kecerdasan dan kesabaran memimpin sebuah negara. Ternyata panji-panji Islam kembali bisa ditegakkan dengan cara yang elegan. Genap sudah janji yang ia ucapkan 26 tahun lalu dalam soal Hagia Sophia. Karena seperti itulah seharusnya seorang Muslim --apalagi jadi pemimpin, tak sekadar berani obral janji lalu dikhianati sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement