Selasa 14 Jul 2020 14:24 WIB

Mutiara Ketulusan dan Kejujuran

Sungguh mahal ketulusan dan kejujuran itu.

Mutiara Ketulusan dan Kejujuran
Foto: Antara/Regina Safri
Mutiara Ketulusan dan Kejujuran

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi berkisah tentang dua perempuan yang berebut bayi. Masing-masing mengaku bayi itu anaknya. Keduanya tak mau mengalah. Kisah itu terjadi di zaman Nabi Daud dan Sulaiman.

Nabi Daud memutus perkara. Bayi mungil itu di­serahkan pada perempuan yang usianya lebih tua. Tapi, perempuan yang muda tak menerima keputusan itu, lalu mengadukannya kepada Nabi Sulaiman.

Baca Juga

Nabi Sulaiman mengambil jalan tengah. Di hadapan dua perempuan itu beliau menyampaikan keputusan akan membelah jabang bayi itu dan membagikannya kepada kedua “ibunya” itu secara adil. Tentu saja ke­duanya kaget.

Perempuan yang usianya lebih muda bertanya, “Wahai baginda, apakah engkau akan membelah bayi ini untuk kami?” Nabi Sulaiman menjawab, “Ya”. Si perempuan itu kemudian berkata, “Janganlah engkau melakukan itu, biarkan bayi ini kurelakan untuk saudara tuaku ini.”

Nabi Sulaiman akhirnya memutuskan bayi yang diperebutkan itu menjadi milik perempuan yang muda. Seraya dia berkata, “Ambillah anak ini, karena dia adalah anakmu.” Kisah tersebut boleh jadi sebuah perumpamaan. Mungkin juga suatu peristiwa yang memang terjadi. Nabi tentu tidak akan mengada-ada suatu kisah.

Bahwa ketulusan dan kejujuran itu merupakan nilai paling berharga. Orang yang tulus dan jujur tidak ingin apa pun yang dicintainya menjadi binasa. Kecintaan dan kejujurannya melebihi ambisinya memiliki sang bayi, meski itu sebenarnya anak kandungnya sendiri. Inilah sikap jujur yang asli yang bersenyawa dengan ketulusan.

Jika di zaman kini banyak orang yang tulus dan jujur secara alami, maka damai dan selamatlah masyarakat, bangsa, dan negara. Hakim dan penegak hukumnya tulus plus jujur, maka tegaklah hukum yang benar dan adil. Polisi, politikus, dan pemimpin negeri jika semuanya  tulus dan jujur maka terbebaslah negara dan bangsa dari gonjang-ganjing yang mematikan akal sehat.

Jika negara banyak masalah dan korupsi merajalela maka lihatlah perangai elite dan warganya. Para pemimpin, polisi, jaksa, hakim, politikus, pejabat, pengusaha, dan warga bangsa jika terjangkiti ketidaktulusan dan ketidakjujuran maka hancurlah nasib negara. Dusta, kesewenang-wenangan, aji mumpung, dan segala kemaksiatan serta kemunkaran akan menjadi lazim dan meluas.

Koruptor dan perusak kekayaan negara selain hidup leluasa, bahkan dibela warga yang memang bodoh dan mudah dibayar. Para penjahat negara ini akan bebas mengatur seluruh sudut negara. Segenap institusi pemerintahan yang semestinya berfungsi melayani hajat hidup publik malah dipakai untuk melayani diri, keluarga, dan kroninya. Kekuasaan politik disalahgunakan, meski jargon ke publik atas nama wong cilik. Ternyata setelah kekuasaan itu di tangan, semuanya sama saja menjadi aji mumpung.

Jika para pencoleng kelas hiu ini dibidik kejahatannya, maka serta merta melakukan serangan balik. Hakim pun gampang disuap, diatur,  dan diintimidasi sehingga membela para koruptor dan petualang negara. Padahal palu hakim itu seolah sama dengan keputusan Tuhan, yang final dan mengikat. Sungguh betapa besar dosa para hakim dan penegak hukum yang korup itu, yang keputusannya dusta dan tidak benar.

Maka, sungguh mahal ketulusan dan kejujuran itu. Keduanya bagaikan barang hilang yang harus ditemukan kembali di negeri ini. Semoga di organisasi-organi­sasi dakwah masih banyak para pemimpin, kader, dan warga yang tulus dan jujur secara autentik. Jika tidak, habislah harapan umat.

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement