Selasa 14 Jul 2020 20:29 WIB

New Normal, Belajar dari Umar bin Khattab Saat Wabah

Umar bin Khattab mengajarkan cara menghadapi wabah berdasarkan ajaran Nabi.

Rep: Retizen/ Red: Elba Damhuri
Ilustrasi Penyebaran Virus Corona.
Foto: MgIT03
Ilustrasi Penyebaran Virus Corona.

RETIZEN -- Penulis: Eriga Agustiningsasi SKM* 

Akhirnya...

Setelah beberapa bulan harus ’mengurung diri’ di rumah masing-masing, kini masyarakat bisa sedikit bernapas lega. Pasalnya pelonggaran PSBB telah dilakukan dimana mana meski wilayahny amasih termasuk dalam zona merah.

Artinya kasus confirm COVID-19 masih belum dikatakan menurun bahkan cenderung naik. Namun, hal ini tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap antusias warga. 

Terbukti dengan semakin banyak orang yang masih keluar rumah hanya sekedar jalan-jalan, refreshing tanpa keperluan yang mendesak. Parahnya kerumunan tetap terjadi dimana-mana meski telah diimbau untuk patuh pada protokol kesehatan yang ada.

Tentu sikap masyarakat yang demikian bukan tanpa alasan. Dari mulai alasan kebutuhan ekonomi hingga psikis membuat, masyarakat berbondong-bondong memenuhi tempat tempat yang mengundang banyak kerumunan. 

Bahkan tempat-tempat wisata pun mulai dibuka meskipun harus mematuhi protokol kesehatan yang ada. Misalnya, pengunjung harus memakai masker, jaga jarak hingga pembatasan jumlah pengunjung sebesar 50% dari kapasitas standar. 

Namun pertanyaannya, dapatkah berjalan dan bertahan lama? Mengingat kesadaran masyarakat negeri ini masih menjadi PR besar.

Lalu, bagaimana dengan usaha yang berbentuk imbauan agar masayarakat tetap mematuhi protokol kesehatan ketika keluar rumah dalam rangka menghadapi New Normal? 

Sebelumnya perlu ditelisik bagaimana pemahaman masyarakat secara umum terkait dengan New Normal. New Normal diartikan sebagai tata kehidupan baru artinya masyarakat dihimbau agar terbiasa dengan tata kehidupan baru yang sangat berbeda dengan masa sebelumnya. 

Jika dahulu bebas ke mana saja, tanpa jaga jarak, tanpa pakai masker, kini masyarakat harus terbiasa mematuhi protokol kesaehatan tersebut meskipun sedikit rumit dan ribet. Namun, sudahkah masyarakat menyadarinya?

Nyatanya masih banyak masyarakat yang belum patuh dengan aturan ini. Buktinya masih banyak pula masyarakat yang melakukan aktivitas seperti biasa sebelum pandemi ini. Seolah-olah bagi mereka Corona telah pergi, telah berlalu. 

Bahkan ada di antara mereka mulai mengadakan acara acara yang mengundang kerumunan orang. Padahal sejatinya kasus semakin tinggi, kematian pun semakin tinggi pula.

Lantas, dalam New Normal ini, masyarakat sudah kebal dengan virus atau justru semakin bebal dengan aturan?

Jika kondisi masyarakat bebal, siapa yang paling merasa dirugikan? Ya. Tenaga kesehatan sebagai garda terdepan dalam menangani kasus COVID-19.

Mereka berusaha bersusah payah bahkan bertaruh nyawa menghadapi resiko yang sangat besar, tertular COVID-19 dari pasien yang ditanganinya. 

Bahkan keluarganya pun akan terkena dampaknya. Jika kesadaran masyarakat semakin lemah, maka bukan hal yang mustahil akan semakin banya kasus confirm yang muncul.

Dan otomatis semakin banyak orang yang akan dirawat nakes dan pastinya semakin tinggi pula risiko tertular. 

Kalau sudah begini siapa yang akan bertanggung jawab? Terlepas dari kesadaran masyarakat yang sebagian besar masih lemah, tentu hal ini tak bisa dibiarkan terus menerus. Menunggu sampai kapan? Hingga jutaaan nyawa tumbang baru tersadar? 

Harus ada solusi menuntaskan persoalan ini. Tentunya berkaitan dengan pemegang kebijakan yang punya kendali untuk mengatur masyarakat yang semakin berani. Berani menantang risiko ini.  

Kebijakan yang mampu melindungi masyarakat dari bahaya virus yang berasal dari Wuhan, China ini. Tentunya kebijakan yang diiringi dengan edukasi dan pengawasan yang ketat oleh aparat. 

Seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab ketika wilayah negaranya mengalami wabah. Apakah dibiarkan begitu saja oleh Umar ketika melihat masyarakat melakukan mobilitas dari satu daerah ke daerah yangr awan wabah atau sebalikmya? Tidak! 

Beliau justru melakukan isolasi wilayah terdampak dengan memperhatikan kebutuhan hidup rakyatnya. Tidak ada warganya yang berani keluar dari wilayah isolasi ataupun sebaliknya. 

Mereka sangat patuh dengan kebijkan yang diambil oleh Khalifah dengan penuh kesadaran.

Lalu bagaimana dengan masyarakat Indonesia yang jumlahnya sangat banyak bahkan sebagian besar adalah muslim?

Mungkinkah bisa diterapkan apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar di zamannya? 

Tentu bukan menjadi kemustahilan jika ada kemauan. Asal ada sinergi antara pemerintah pusat hingga daerah dengan masyarakat pada umumnya. Merujuk pada satu solusi. Solusi dari pemilik hidup ini. 

Dialah Allah SWT yang telah mengutus Rasulullah sebagai penyampai risalahNya. Dan juga dicontoh oleh para sahabat salah satunya oleh Umar bin Khattab tadi.

Jadi, bagaimana? Mau ambil solusi dari Islam? Pastinya!

*Eriga Agustiningsasi SKM, Penyuluh Kesehatan/Freelance Writer

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Advertisement
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement