Senin 20 Jul 2020 11:15 WIB

Mars dan Tradisi Keilmuan Islam

Peluncuran misi Mars UAE dan kelanjutan tradisi keilmuwan Islam

Observatorium Maragha, Iran.
Foto: Aydin Tabrizi/Wikipedia
Observatorium Maragha, Iran.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fitriyan Zamzami, wartawan Republika

Pada abad ke-13, di Maragha, bagian utara wilayah Iran saat ini, berdiri observatorium. Didirikan melalui skema wakaf dan disponsori Hulagu Khan yang belum lama itu menaklukkan Baghdad. Bangunan tersebut adalah observatorium terbesar di dunia kala itu.

Dipimpin astronomer kawakan Nasiruddin al-Tusi, rerupa pengamatan benda-benda langit dilakukan di observaturium tersebut. Salah satu yang paling cemerlang di antara para ilmuwan bernama Muhyi al-Din ibn Abi al-Shukr al-Maghribi yang datang jauh-jauh dari Andalusia di wilayah Spanyol saat ini.

Di Maragha, Ibn Abi al-Shukr melancarkan proyek pengamatan pergerakan planet-planet besar-besaran secara sistematis. Proyek itu berhasil menyimpulkan sejumlah parameter astronomis baru.

Pada 1264, 1266, 1270, dan 1271, seperti dicatat astronom Iran Mohammad Mozaffari, Ibn Abi al-Shukr mengamati lekat pergerakan bulan dan planet-planet tersebut. Ia mencoba mengoreksi teori-teori astronomi dari Yunani kuno karya Almagest dan Ptolemi. 

Satu planet yang jadi perhatian  Ibn Abi al-Shukr  adalah Mars, sang planet merah. Meski masih mendasari  perhitungannya dengan teori bahwa bumi ada di pusat alam semesta alias geosentris, dalam beberapa aspek al-Maghribi berhasil mengajukan perhitungan sistematis terkait elemen-elemen orbital Mars. Perhitungan yang ia lakukan mencapai tingkat akurasi yang jauh lebih presisi dari upaya-upaya sebelumnya yang dilakukan astronom dan astrolog dari selatan Eropa hingga di Negeri Cina.

Seperti kebanyakan rekan-rekan satu ilmunya kala itu, astronomi yang dipelajari Ibn Abi al-Shukr punya kaitan dengan astrologi. Artinya, pergerakan-pergerakan benda-benda langit yang mereka hitung bukan semata untuk catatan saintifik. Mereka memeriksa pergerakan langit untuk mencoba menafsirkan apa yang bakal terjadi di masa datang.

Yang luput diramalkan Ibn Abi al-Shukr, adalah kejadian pada Senin (20/7), sekitar 700 tahun ke depan. Saat pesawat antariksa yang dirancang penerus disiplin ilmunya diluncurkan untuk mengamati jauh lebih dekat planet yang dulu ia amati dari Maragha. Pukul 06.58 waktu setempat, roket pendorong melontarkan wahana itu dari Tanegashima Space Center, sebuah pulau kecil di selatan Jepang.

Pesawat antariksa Uni Emirat Arab (UAE) itu akan menempuh perjalanan jutaan kilometer selama tujuh bulan ke Mars, kemudian melepaskan satelit yang akan mengorbit planet itu. "Amal", alias "Harapan", nama proyek tersebut. 

Yang juga patut dicatat, proyek tersebut dipimpin Sarah al-Amiri, seorang perempuan yang usianya baru 33 tahun. Aslinya seorang ahli komputer ia saat ini menjabat kepala operasi sains dan Wakil Manajer Misi UEA ke Mars di Pusat Antariksa Mohammed bin Rashid (MBRSC), Dubai.

"Wajar saja orang-orang berpikir ini misi gila," ujarnya dalam wawancara dengan majalah sains Nature beberapa waktu lalu. Namun hari ini, enam tahun setelah ia memimpin operasi tersebut, al-Amiri menjawab keraguan. 

Al-Amiri mengatakan, tujuan negaranya mengirimkan misi ke Mars sederhana saja. Sama seperti pendahulunya ratusan tahun silam, ia ingin wilayahnya kembali menyumbangkan hal penting bagi ilmu pengetahuan. "Misi ini disebut 'Harapan' karena kami ingin berkonstribusi untuk pengertian global tentang sebuah planet. Kami ingin melampaui sengkarut yang dilekatkan dengan wilayah kami untuk menjadi kontributor positif bagi ilmu pengetahuan," kata al-Amiri.

Ia mengatakan dengan gamblang bahwa proyek itu sebuah capaian bersejarah dari kawasan yang selama ini lebih sering masuk berita terkait konflik. Meski jika menilik sejarah, misi ke Mars itu adalah juga jalur kembali menuju tradisi keilmuan yang sempat bersinar dari wilayah Timur Tengah ke berbagai penjuru dunia. Alih-alih hal yang sepenuhnya baru, ia adalah kelanjutan yang dijeda ratusan tahun dari observatorium-observatorium yang diawaki ilmuwan-ilmuwan Muslim di Samarkand, Beijing, Istanbul, Kairo, Baghdad, Maragha.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement