Rabu 22 Jul 2020 03:36 WIB

Huquq al-Jar, Etika Bertetangga dalam Islam

Huquq al-Jar ditulis oleh Imam Adz Dzhabi

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Muhammad Hafil
<em>Huquq al-Jar</em>, Etika Bertetangga dalam Islam. Foto: Ilustrasi: Meniru Akhlak Rasulullah: Jadilah Tetangga yang Baik!
Foto: pxhere
Huquq al-Jar, Etika Bertetangga dalam Islam. Foto: Ilustrasi: Meniru Akhlak Rasulullah: Jadilah Tetangga yang Baik!

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam mengatur hubungan antarsesama manusia, baik dengan sesama Muslim maupun non-Muslim. Tentu saja pola interaksi yang dibangun mengedepankan nilai-nilai dan etika yang luhur. Islam mengajarkan tuntunan atau adab untuk menjalin hubungan dan komunikasi terhadap orang tua, keluarga, dan lingkungan sekitar.

Sebagai bagian dari  makhluk sosial, seorang Muslim hidup berdampingan dengan orang lain--dalam komunitas kecil--dikenal dengan istilah tetangga. Dalam ajaran Islam, hak tetangga atas tetangganya begitu agung. Islam membuat tuntunan bertetangga, karena keberagaman serta perbedaan latar belakang, suku, budaya, dan karakter, serta ekonomi dalam bertetangga  berpotensi menimbulkan benturan.

Baca Juga

Islam mengatur adab bertetangga untuk me-manage potensi perbedaan tersebut. Dalam ajaran Islam, perintah berbuat baik kepada tetangga disandingkan dengan perintah menyembah Allah dan larangan mempersekutukannya. Perintah dan larangan itu memiliki nilai sakralitas yang tinggi. Ini merupakan indikasi kuat, agar setiap Muslim menjaga  perilaku dan tindakannya dalam kehidupan bertetangga.

Allah SWT berfirman, "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada  ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, serta teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri." (QS an-Nisaa' [4] : 36).

Anjuran berbuat baik terhadap tetangga juga sangat ditekankan oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadisnya, beliau mempertegas  perintah memuliakan tetangga yang dikaitkan secara langsung dengan iman seseorang. Rasulullah mengatakan, dalam hadis riwayat Abu Syuraih bersabda, Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya dia berbuat baik kepada tetangga. 

Di antara sumbangsih berharga ulama salaf adalah kitab Huquq al-Jar. Sebuah kitab yang dikarang oleh  al-Hafidh Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi atau masyhur disapa adz-Dzhabi (wafat 748 H/ 1348 M).

Ini merupakan kitab pertama yang ditulis secara khusus dan fokus  memuat tuntunan berdasarkan Alquran dan Sunah. Total bab yang dikupas sebanyak 16 bab dan empat subtema. Sebelum Huquq al-Jar dikarang oleh adz-Dzahabi, sejumlah ulama telah melakukan kajian dan bahasan tentang etika bertetangga.

Meskipun masih dikupas secara integral dan menyatu dengan tema lain  di satu kitab. Uraian yang tercecer tersebut bisa didapatkan dari berbagai macam kitab utama seperti kitab Shahih, Sunan, ataupun kitab fadlail a’mal lainnya.

Sebut saja, misalnya, Imam al-Bukhari pernah menguraikan tentang etika bertetangga dalam kitab Adab al-Mufrad. Sebuah kitab yang berisikan riwayat-riwayat sunah berkenaan dengan adab dan tuntunan keseharian.

Al-Baihaqi  pun dalam salah satu karyanya yang terkenal, yaitu Sya’ab al-Iman juga mengupas masalah adab bertetangga.  Ibnu al-Jauzi menulis etika bertetangga dalam kitab al-Birr wa ash-shillah.  Sedangkan, al-Mundziri memaparkan adab hidup berdampingan satu sama lain dalam karyanya yang bertajuk at-Targhib wa at-Tarhib.

Bahkan, tokoh sufi al-Ghazali menurut sejumlah peniliti belum mempunyai warisan yang secara khusus mengupas tentang hak dan kewajiban hidup bertetangga. Tema itu cukup dia bubuhkan ke dalam topik tentang bertetangga pada magnum opus-nya, yaitu kitab  Ihya Ulum ad-din. Itu pun, dibahas tidak secara panjang lebar alias relatif singkat.

Tak seperti  karya adz-Dzahabi  yang lain terutama al-Kabair, kitab Huquq al-Jaar hampir dipastikan murni buah pemikiran  adz-Dzahabi. Jika al-Kabair, misalnya, pernah disanksikan otentitasnya oleh Syekh Abd ar-Rahman Fakhuri lantaran memuat hadis-hadis yang lemah bahkan palsu, tetapi tidak demikian dengan Huquq al-Jar.

Setidaknya ada dua alasan dan bukti orisinalitas dari kitab tersebut. Pertama, dari segi identitas kitab. Salah satu manuskrip di Ma’had al-Makhthuthath, Mesir, yang diperkirakan disalin pada 864 H, secara jelas mencantumkan nama adz-Dzahabi, selaku penulis.

Nama tersebut ditulis di halaman terdepan naskah. Selain identitas, adz-Dzahabi menerapkan kepakarannya di bidang riwayat sebagai pijakan dan metodologi penukilan hadis. Sebagai contoh, dalam bab pertama tentang perintah berbuat baik kepada tetangga, adz-Dzahabi meriwayatkan hadis dari Abu Syuraikh.

Adz-Dzhabi menyebutkan sanad dari jalur tabi'it tabiin, dan perawi tertinggi yaitu sahabat. Adz-Dzahabi juga menyertakan jalur periwayatan yang berbeda.  Kemudian, kalaupun adz-Dzahabi tidak mencantumkan semua riwayat yang berkenaan dengan etika atau tata cara berhubungan dengan tetangga, tentu hal itu merupakan kewajaran.

Tidak satu pun alim yang luput dari kekurangan. Lagi pula, adz-Dzahabi ketika menulis kitab itu tidak memberlakukan syarat semua hadis tentang etika bertetangga harus terangkum semua.

Di satu sisi, tak terlepas dari kapasitas adz-Dzahabi sebagai manusia biasa. Bukan berarti pakar lantas menguasai  semua hadis-hadis nabi. Tiap orang pasti ada yang pernah luput dari sunah Rasulullah, demikian diungkapkan Imam Malik. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement