Rabu 22 Jul 2020 16:55 WIB

Golkar, Revolusi Diam-Diam yang Mengubah Arah Politik

Pada 2005 pertama dalam sejarah parpol meneken kerja sama dengan lembaga survei.

Red: Karta Raharja Ucu
Bendera Partai Golkar.
Foto: dok. Republika/Aditya Pradana Putra
Bendera Partai Golkar.

IHRAM.CO.ID, Oleh: Denny JA

Sebuah revolusi diam diam terjadi dalam politik di Indonesia. Waktunya: Maret 2005. Saat itu politik Indonesia berubah dan sulit untuk kembali lagi. Dimulailah era politik pemilu, persaingan untuk menjadi presiden, gubernur, wali kota, bupati, anggota DPR, dibimbing oleh hasil riset dan data.

Sebelumnya, pertarungan politik dipimpin oleh para ideolog partai. Strategi dibuat berdasarkan pengalaman, instink, firasat. Sejak Maret 2005, politik praktis dikawinkan dengan ilmu pengetahuan. Para ideolog partai mulai memberi tempat kepada peneliti dan profesional marketing politik.

Pertama kali dalam sejarah Indonesia, sebuah partai politik menandatangani kerja sama dengan lembaga survei, untuk memetakan dan memilih calon gubernur serta bupati, di 200 wilayah Indonesia. Ketua umum Golkar saat itu Jusuf Kalla. Diwakili oleh Andi Matalata dan Ruly Azwar Anas, Golkar menandatangani kerja sama dengan Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny JA), yang diwakili penulis sendiri.

Setelah maret 2005, hingga kini, tradisi partai politik menggunakan lembaga survei terus berlanjut. Bagaimanakah awal perkaranya? Apa yang membuat partai politik itu, Golkar, dan Lingkaran Survei Indonesia membuat sejarah? Jawabnya adalah Profiling: ilmu tentang segmentasi pemilih.

Dua peristiwa mempengaruhinya.

Peristiwa pertama: Pemilu legislatif 2004.

Serangan kepada Golkar sangat bertubi. Kala itu Indonesia baru 6 tahun lepas dari Orde Baru. Soeharto baru jatuh. Golkar selalu diidentikkan dengan Orde Baru dan Soeharto.

Pada pemilu pertama setelah tumbangnya Orde Baru, tahun 1999, pertama kali pula Golkar dikalahkan. Perolehannya merosot hingga 22 persen.

Padahal selama pemilu Orde Baru, perolehan Golkar selalu di atas 60 persen. Pertama kalinya, di tahun 1999, partai lain yang juara, PDIP.

Memasuki pemilu 2004, kampanye anti-Golkar tetap kencang. Isu utamanya: jangan pilih politisi busuk. Deklarasi anti-politisi busuk, politisi yang korup dan melanggar HAM dideklarasikan. Dalam list 61 politisi busuk, Golkar paling banyak. (1)

Kala itu, penulis sudah berulang membuat survei nasional memetakan posisi partai politik. Penulis meminta waktu bertandang ke rumah Akbar Tanjung pertemuan empat mata saja.

Kepada Akbar Tanjung, ketua umum Golkar saat itu, penulis yakinkan. Golkar akan menjadi nomor satu kembali. Golkar kembali ke khittah-nya menjadi partai juara.

Akbar Tanjung kaget. Ia bertanya bagaimana penulis yakin soal itu? Penulis jelaskan. Peta dukungan pemilih bisa dibaca melalui ilmu pengetahuan. Nama ilmunya survei opini publik. Di luar negeri, akurasi prediksi survei opini publik terbukti berkali-kali.

Ujar Akbar Tanjung lagi, tapi bukankah ini era reformasi? Baru 6 tahun Orde Baru tumbang? Golkar diidentikkan dengan Orde Baru. Buktinya, pemilu tahun 1999, Golkar merosot dari 70,2 persen (pemilu 1997) hanya menjadi 22 persen (pemilu 1999)?

Akbar Tanjung tetap kritis. Sentimen anti-Golkar masih tinggi ujar Akbar Tanjung lagi. Itu lihat kampanye anti-politikus busuk oleh LSM. Kembali Golkar nomor satu paling banyak politikus busuk.

Penulis menunjukkan data survei nasional. Penulis sampaikan satu prinsip dalam marketing politik. Profiling. Yaitu ilmu memilah seluruh populasi pemilih ke dalam aneka segmentasi.

Penulis katakan, yang anti Golkar hanya pemilih terpelajar. Itu pemilih yang pendidikannya mahasiswa ke atas. Jumlah mereka secara nasional di bawah 10 persen. Benar, dalam segmentasi pemilih ini, Golkar sangat dibenci, dan merosot.

Tapi di kalangan segmen pemilih mayoritas, yang pendidikan terakhirnya hanya SD, SMP, wong cilik, Golkar akan menang. Tanya Akbar Tanjung lagi: Tapi ada PDIP di sana. Kan mereka partai wong cilik?

Penulis tunjukkan data lagi. PDIP sudah merosot pak. Partai ini akan jatuh perolehannya di bawah Golkar. “Apa iya?,” tanya Akbar Tanjung. Kan perolehan PDIP di 1999 tinggi sekali 33,7 persen?

"Begitulah pemilu demokratis," pak, sanggah penulis meyakinkan. “Jika harapan publik tidak terpenuhi, tokoh dan partai yang menang pemilu sebelumnya, akan ditinggalkan."

Akbar Tanjung masih tak yakin dengan kebenaran survei opini publik ini. Tapi dia senang. "Info dari saya ini akan menambah semangat teman teman," ujar Akbar.

Akbar Tanjung pun meminta saya mempresentasikan prediksi Golkar akan juara lagi kepada tim Golkar. Beberapa kali pula saya diundang Golkar di daerah untuk presentasi hasil survei itu. Kabar bahwa Golkar akan juara lagi pun disebar.

Pemilu legislatif 2004 diselenggarakan bulan April 2004. Golkar benar juara lagi, dengan perolehan 21,58 persen. Mengalahkan PDIP, juara sebelumnya, di angka 18,53 persen.

Penulis lega prediksi lembaga survei terbukti.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement
Advertisement
Advertisement