Jumat 24 Jul 2020 16:27 WIB

Islam di Sinegal, Potret Ekstremisme dalam Balutan Film 

Islam di Senegal dibayang-bayangi kelompok terorisme ekstremis.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
Islam di Senegal dibayang-bayangi kelompok terorisme ekstremis. Keindahan Masjid Rabbani di teluk busur di bagian barat Ouakam, Dakar, Senegal.
Foto: face2faceafrica
Islam di Senegal dibayang-bayangi kelompok terorisme ekstremis. Keindahan Masjid Rabbani di teluk busur di bagian barat Ouakam, Dakar, Senegal.

REPUBLIKA.CO.ID, SENEGAL— Berbeda dari kebanyakan film bertemakan drama keluarga yang biasanya berisi kisah keluarga yang harmonis dengan sedikit bumbu konflik antar anggota keluarga, Mamadou Dia, sutradara muda asal Senegal justru menampilkan kisah kedatangan fundamentalis Islamis sebagai latarnya. 

Film berjudul "Baamum Nafi" (Ayah Nafi) ini lebih banyak menampilkan suasana mencekam, dimana para fundamentalis yang awalnya menghadiahkan uang dan bantuan, mulai menunjukkan taringnya dan mengambil alih kendali.

Baca Juga

Setelah diputar di Museum Film di Frankfurt, Februari lalu, Dia menjelaskan, film ini menyangkut dua saudara lelaki, satu hanya dikenal sebagai "Tierno", Imam yang telah lama melayani di kota itu, yang memimpin umatnya dengan tangan yang lembut, dan Tierno, sosok yang sangat dicintai tetapi agak lemah, telah tinggal di kota sepanjang hidupnya.

Kakak laki-lakinya, Ousmane, di sisi lain, menerima dukungan ayah mereka untuk bepergian ke luar negeri dan memperluas wawasannya. Ousmane menjadi pengikut fundamentalis radikal yang hanya dikenal sebagai "Syekh". Dia kembali ke kota asalnya sebagai agen Syekh, dengan membawa uang tunai dan hadiah untuk mengambil pengaruh dan kendali.

Masalah yang rumit adalah bahwa kedua saudara lelaki itu telah sama-sama menjadi ayah. Tierno memiliki seorang anak perempuan bernama Nafi, sedangkan Ousmane memiliki seorang putra bersama Tokara.

Nafi adalah pribadi yang cantik dan cerdas, dia ingin belajar kedokteran di Dakar dan menjadi dokter. Sedangkan Tokara yang lembut dan berbakat ingin belajar menari dan menjadi penari profesional. Mereka saling mendukung dalam aspirasi mereka.

Konflik mulai terjadi saat Nafi dan Tokara yang ternyata saling jatuh cinta dan ingin dinikahkan. Tierno dan Ousmane yang sejatinya bersinggung pandang, terlebih tentang bagaimana pernikahan anak-anak mereka dilakukan, dan diperkeruh dengan persaingan mereka untuk mengendalikan kota dan menentukan bagaimana praktik Islam dilaksanakan.

Tierno jelas lebih simpatik dibanding saudaranya. Tetapi penduduk kota, yang dibutakan oleh hadiah uang tunai dan oleh argumen tentang "Islam sejati" yang dimaksudkan untuk melemahkan otoritas Tierno, secara bertahap beralih ke kamp Ousmane.

Kemudian sisi gelap fundamentalisme Islam mulai muncul. Wanita dituntut untuk menutupi diri mereka dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan cadar. Perkawinan paksa dilakukan dalam upacara massal.

Gadis-gadis yang tengah bermain harus segera melarikan diri ketika pengawas agama mendekat, karena tahu bahwa segala sesuatu yang tampak menyenangkan itu melanggar aturan baru.

Pasangan yang belum menikah berpegangan tangan di depan umum dipandang sebagai masalah. Seorang pencuri kecil dihukum dengan keras, potong jari. Hingga puncaknya, kota yang dulunya santai dan toleran berubah menjadi tempat yang ditakuti.  

Jelas, interpretasi baru tentang Islam telah berlaku. Warga kota itu ambivalen, banyak yang terkejut. Pada satu titik, kedua bersaudara itu berdebat tentang apa sebenarnya arti Islam. Apakah itu agama toleransi dan amal, seperti yang dipahami Tierno? Atau apakah itu sistem aturan yang keras berdasarkan interpretasi yang ketat dan penerapan hukuman dari ajaran Alquran, seperti yang dilihat oleh Ousmane? 

Yang menarik, film ini dibuat di kota asal Mamadou Dia, Matam, di timur laut Senegal, tepat di perbatasan Mauritania. Hanya dua aktor profesional yang terlibat, yang memerankan dua bersaudara. Sedangkan sisanya adalah penduduk Matam. Pengaturan itu memberi film ini aspek dokumenter, menunjukkan kehidupan sehari-hari di kota kecil, untuk menunjukkan bagaimana Islamisme yang kejam dapat menyusup ke kota yang damai. 

Sang sutradara yang sebelumnya bekerja sebagai jurnalis di seluruh Afrika ini, ternyata dapat memproduksi film panjang pertamanya ini dengan anggaran rendah. "Tidak hanya ada satu tipe Muslim," ujarnya saat ditanya mengenai filmnya.

“Pada 2014 saya pergi ke New York untuk belajar film. Setiap kali saya mengatakan saya seorang Muslim, orang-orang mempunyai ide tertentu tentang apa itu, dan saya harus menjelaskan, 'tidak, Senegal berbeda, itu bukan cara hidup Islam kita.' 

Senegal secara resmi negara sekuler dan itu melarang fundamentalisme kekerasan. Di kota-kota lokal, praktik Islam sering dicampur dengan tradisi pra-Islam," jelasnya.  

Dia mencatat bahwa fundamentalisme adalah interpretasi Islam dan tidak harus dikaitkan dengan kekerasan. “Ada satu miliar Muslim di dunia. Tidak hanya ada satu tipe Muslim; ada berbagai macam. Di Senegal, kami menyebut Muslim yang makan daging babi dan minum alkohol 'Muslim kiri', dan ada banyak tipe lain juga. Satu persen Muslim yang berkeliling membunuh orang, yang disebut jihadis, membunuh lebih banyak Muslim daripada agama lain," katanya. 

“Senegal tidak lebih aman atau lebih kuat dari Mali atau Burkina Faso. Kita semua ingin hidup di tempat yang damai. Senegal adalah sekuler dan ekstremisme belum terjadi. Saya ingin memberi tahu orang-orang Senegal untuk tidak menunggu ekstremisme mengenai sebelum kita membicarakannya. Itulah sebabnya saya membuat film: untuk memulai debat," ujar dia.

Sumber: https://en.qantara.de/content/islamism-in-senegal-a-fight-for-the-soul-of-islam

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement